anis, kolonialisme dan wangi yang tak sedap



Ini bukan tulisan yang membahas masalah pemakaian istilah “pribumi” dalam pidato di hari pertama Anis Baswedan menjabat sebagai Gubernur DKI periode 2017-2022. Bukan. Sepertinya sudah terlalu banyak tulisan yang membahas polemik tersebut dari berbagai sudut pandang.

Saya jadi "gatal" ingin menulis karena tadi pagi, saya mendapat berita berisi video penjelasan [baca: pembelaan] Gubernur DKI tentang alasan penggunaan istilah "pribumi" tersebut  dalam pidatonya (Sumber: http://news.liputan6.com/read/3131124/video-ini-jawaban-anies-soal-pidato-pribumi). 

Dalam penjelasannya di hari ke-2 menjabat (Selasa, 17/10/17), beliau menyatakan: 

“Istilah itu digunakan pada konteks penjajahan karena saya menulisnya juga pada era penjajahan dulu. Karena Jakarta ini kota yang paling merasakan. Kalau kota-kota lain gak lihat Belanda dari dekat. Yang lihat Belanda dari jarak dekat, siapa? Orang Jakarta.”

Penjelasan ini cukup membuat saya mengernyitkan hidung. Seperti ada wangi yang makin tak sedap di sini. Bukannya menjadi harum, pewangi yang belakangan diberikan justru makin mempertajam bau tersebut. Benarkah dalam pemakaian istilah tersebut, beliau merujuk pada konteks penjajahan?

Saya mengerti bila beliau mencoba membuat sebuah penjelasan yang (terkesan) konsisten dengan isi pidato sebelumnya (Senin, 16/10/17). Anis ingin dipahami bahwa pidatonya itu menyasar ke masa penjajahan. Masa kolonialisme-nya Belanda. Namun bagi saya, upaya ini semakin memperlihatkan kerancuan beliau dalam memilah istilah untuk menyampaikan maksudnya.

Dalam pidato di hari pertama, beliau memang mengatakan:

Jakarta ini satu dari sedikit kota di Indonesia yang merasakan kolonialisme dari dekat, penjajahan di depan mata, selama ratusan tahun. Di tempat lain, mungkin penjajahan terasa jauh tapi di Jakarta bagi orang Jakarta yang namanya kolonialisme itu di depan mata..."

Baiklah. Kalau memang bermaksud berbicara dalam konteks penjajahan, mari berbicara sejarah.

Dalam sejarah Indonesia, kolonialisme yang merupakan praktik dari imperialisme tersebut mengacu pada penjajahan yang dilakukan pihak asing, mulai dari VOC, Inggris, hingga pemerintah Hindia Belanda dan Jepang.

Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa bentuk penjajahan era VOC hingga pemerintahan Jepang adalah sebuah kolonialisme eksploitasi yaitu bentuk kolonialisme yang menyebabkan sebuah negara yang dijajah terkuras habis sumber daya alam yang dimilikinya.

Saya belum pernah membaca teori yang membagi jenis kolonialisme menjadi "kolonialisme dari dekat" dan "kolonialisme dari jauh", seperti yang tersebut dalam pidato. Atau mungkin ini teori baru yang ditemukan beliau sehingga dianugerahi gelar doktor?

Cobalah membandingkan kalimat beliau di hari pertama (16/10/17) yang menyatakan: 

“Jakarta ini satu dari sedikit kota di Indonesia yang merasakan kolonialisme dari dekat...”

dengan kalimat penjelasan beliau di hari (17/10/17) berikutnya: 

Kalau kota-kota lain gak lihat Belanda dari dekat. Yang lihat Belanda dari jarak dekat, siapa? Orang Jakarta.”

Saya ingin berbaik hati dengan menganggap bahwa mungkin benar ada istilah "kolonialisme jarak jauh" dan "jarak dekat" tersebut. Anggaplah otak saya yang kecil ini yang memang tidak tahu [karena setahu saya jarak jauh dan dekat itu kalau tidak tentang argo taxi ya, tentang long distance relationship]. Tetap, bagi saya, ada ketidakkonsistenan antara pidato dengan penjelasan.

Pernyataan di hari pertama mengacu pada konteks eksternalitas (dampak) karena ada istilah “merasakan”. Akan tetapi bila melihat pernyataan di hari kedua, klasifikasi baru ciptaan beliau ini malah merujuk pada konteks geografis. Ada istilah “melihat dari jarak dekat”. Yang mana yang benar?

Andaikan kolonialisme yang dimaksudkan dalam pidato memang mengacu pada konteks dampak, lalu mengapa Jakarta harus menjadi “satu dari sedikit kota yang merasakan kolonialisme dari dekat”Apakah di Indonesia, memang hanya sedikit kota yang merasakan dampak kolonialisme?

Padahal sejarah sudah bersaksi bahwa 4/5 (empat perlima) permukaan bumi dan 2/3 (dua pertiga) penduduk bumi pernah mengalami kolonialisme (Said dalam Foulcher, 2008:3). Lalu selain Jakarta dengan 5 (lima) wilayah kotanya, benarkah nasib 93 kota lainnya di Indonesia tak terjajah?

Tidak mau berburuk sangka, saya mencoba berpikir positif. Jangan-jangan yang dimaksudkan memang dalam konteks geografis? Tetap saja pada akhirnya muncul pertanyaan: Apakah hanya Jakarta yang “melihat Belanda dari jarak dekat"? 

Apa kabar Kota Yogyakarta, Bandung, Medan, Denpasar dan ratusan tempat lain di Indonesia yang menjadi saksi sejarah pertempuran langsung melawan penjajah? Yang berkontribusi melawan penjajah itu bukan hanya Jakarta. Contoh yang cukup terkenal adalah peran penduduk Yogyakarta saat Agresi Militer Belanda II ketika tanggal 19 Desember 1948, Belanda menyerang Yogyakarta[1].

Upaya "pembenaran" itu ternyata tak berhenti di situ saja. Beliau merasa perlu menegaskan penjelasannya di hari kedua tersebut dengan menambahkan:  

"...di pelosok-pelosok Indonesia, tahu ada Belanda. Tapi lihat di depan mata? Nggak. Yang lihat di depan mata kita itu, kita. Orang Jakarta ini.”

Buat saya, kalimat ini makin menyebarkan wangi tak sedap itu. Ibarat kebohongan yang harus ditutupi dengan kebohongan agar tetap terbaca seperti kebenaran. 

Mungkinkah sosok Anis Baswedan yang digadang-gadang sebagai "negarawan" itu lupa sejarah? Lupa bahwa masyarakat di pelosok Indonesia itu juga berperan melawan penjajah? Sisingamangaraja XII itu jelas tinggal di pelosok Sumatera Utara. Apakah gelar pahlawan nasional didapatkan beliau hanya dengan duduk-duduk cantik saja, pura-pura tak melihat Belanda yang mengakuisisi wilayahnya?

Atau taruhlah kita percaya bahwa itu adalah sebuah penjelasan yang jujur. Apakah beliau [lagi-lagi] lupa bahwa sejarah mencatat bukan hanya "pribumi" [istilah dari penjajah Belanda yang beliau pinjam] yang berjasa besar dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan? Yang masuk dalam kategori "bukan-pribumi", cap Belanda untuk warga keturunan Asia Timur pun, punya andil. Lupakah Anis bahwa Sumpah Pemuda di tahun 1928 itu disuarakan di rumah milik Sie Kok Long yang terletak di Jl. Kramat Jakarta?

Mengapa menutup mata? Mengapa menganggap di Indonesia hanya Kota Jakarta yang bernasib sial? Mengapa bersemangat sekali menganggap hanya warga pribumi Jakarta yang menjadi korban kolonialisme?

Saya curiga. Jangan-jangan niat beliau sebenarnya mengacu pada konteks masa kini, setelah kemerdekaan, atau lebih tepatnya merujuk pada periode masa sebelum beliau kini menjabat. Sepertinya ada yang ingin mengarahkan telunjuknya ke periode masa pemerintahan Jokowi-Ahok-Djarot berbalut jargon-jargon indah yang sedap didengar. 

Ingin bicara sejarah namun mengapa justu malah membelokkan sejarah? Pembenaran yang dibuat pun jadinya terkesan memaksa. Maksud sebenarnya tetap terlihat telanjang.  Tak cukup ksatria mengakui langsung bahwa ucapan-ucapan itu mengarah pada kelompok dan kiprah WNI keturunan Tionghoa di Indonesia di masa kini. Masa setelah kemerdekaan. Masa sebelum beliau menjabat. 

Wajarlah bila pidato Anis Baswedan dalam pelantikannya, termasuk pernyataan-pernyaatan beliau sesudahnya itu, pada akhirnya menuai kontroversi. Substansinya sangatlah sarat dengan bias karena banyaknya makna kontradiktif yang tersurat dan tersirat. 

Beliau juga tak sungkan menyimpulkan masalah perkotaan di Jakarta dengan membagi semua hal ke dalam dikotomi "pribumi" dan "penjajah", “kaya” dan “miskin”,  serta menggeneralisir sejarah menjadi “Jakarta” dan “non-Jakarta”. Apakah memang Jakarta sesederhana itu?

Mengingat pencapaian beliau yang pernah menjadi menteri pendidikan (walau tak tuntas) dan kini menjadi pemimpin Kota Jakarta yang sangat plural, sudah seharusnya ekspresi di balik kata-kata indah nan cetar membahana itu dipertanyakan. Wangi namun tak sedap. Kelak, "wangi" itu bisa jadi “membahayakan". Ingatkah anda dengan propaganda ras murni-nya Arya di Jerman?

Baiklah. Mungkin tak perlu jauh melihat efek "wangi" itu melalui perkembangan Jakarta di tahun 2022. Cukup kita lihat situasi yang terjadi di Jakarta menjelang tahun 2019 ketika pesta demokrasi pemilihan presiden akan berlangsung. Time will tell.


Ciumbuleuit, delapan belas oktober.
Saya, warga DKI yang bukan pribumi.




[1] Peristiwa tersebut dibahas dalam buku karya Himawan Soetanto yang berjudul Yogyakarta 19 Desember 1948 Jendral Spoor (Operatie Kraai) versus Jendral Sudirman (Perintah Siasat No.1).

Comments

Popular Posts