[bukan] surat terbuka untuk pelaku teror Jakarta

Mohon maaf.

Saya bukannya ingin ikut-ikutan menulis surat terbuka yang ditujukan kepada para pelaku teror di Jl. Thamrin. Ini hanya sekadar tulisan tentang apa yang melintas di pikiran saat melihat bagaimana kalian membuat teror di Jakarta dengan bom dan peluru kalian (Kamis/14 Jan 2016).

Sejujurnya, manusia-manusia yang hidup di Jakarta ini sebenarnya sudah lama berteman dengan teror. Kalau anda-anda sekalian, yang mengaku teroris, ingin membuat kerusuhan, mungkin sebaiknya berguru dulu dengan penghuni Jakarta. Apa sih makna teror untuk kami?

Saya yakin, kalian para teroris, belum pernah melihat suasana dalam gerbong KRL khusus wanita saat jam berangkat atau pulang kantor, bukan? Saat para perempuan yang cantik dan mewangi itu bisa mendadak berubah sangar saat ada yang memaksa masuk gerbong dan mendorong-dorong mereka yang berdiri utk bergerak lebih ke dalam. Uji nyali di sini, deh. Anda berani masuk?

Cobalah untuk melihat bagaimana perempuan yang mencoba masuk gerbong itu, dengan tak kalah buas, menerjang masuk gerbong, meneror seisi gerbong dengan resiko disumpahi seluruh penumpang.

Manusia-manusia di Jakarta itu sudah terbiasa dengan masalah. Seperti saat-saat berdesakan mirip ikan sarden dalam gerbong KRL dan kaki kiri kami terasa gatal. Karena tangan tak mampu lagi menjangkau, akhirnya harus kaki kanan kami yang menggaruk dengan resiko kaki kanan tersebut tak akan pernah bisa kembali ke posisi semula, menapak mulus di atas lantai.

Itu baru sebagian kecil teror yang harus kami hadapi sepanjang minggu setiap pagi dan sore.

Saat kami di kantor, handphone  kami pun tak berhenti dari teror orang-orang yang bolak balik menawarkan kartu kredit atau Kredit Tanpa Agunan yang bunganya mencekik leher itu. Entah dari mana nomor HP kami bisa didapat.

Telepon yang kalau tidak diangkat, deringnya akan berbunyi 100 kali. Atau saat diangkat pun, kita akan kesulitan menolak dengan sopan karena diserbu dengan tumpahan informasi yang hebatnya bisa disampaikan dalam 1 tarikan nafas.

Pernah sekali saya mencoba mengangkat dan menjawab dengan santun. "Maaf ya, Mbak. Saya lagi rapat." Lalu dijawab dengan ketus, "Kalau lagi rapat, kok bisa menjawab telepon?" Lalu telepon saya seketika ditutup. Lho?

Belum lagi teror di hari Jumat sore saat jam pulang kantor. Saat semua orang di jalan mendadak gila dan kehilangan akal warasnya. Bunyi klakson yang berulang dalam sepersekian detik dan sumpah serapah pengendara di jalan itu sudah seperti alunan lagu Nina Bobo untuk kami.

Cobalah rasakan saat melihat bagaimana metromini menyela dan memepet di sebelah kiri sementara di sebelah kanan, ada pengendara motor yang hanya melambaikan tangan dengan hangat setelah menyerempet kaca spion mobil dan menggores badan mobil. Itu baru teror!

Saat tiba di rumah, teror berikutnya yang harus kami hadapi adalah tayangan sinetron yang jalan ceritanya sering tak masuk akal kami yang terbatas ini. Logika ceritanya beda-beda tipis dengan sampah. Saat berganti channel, disambut dengan tayangan yang dibawakan laki-laki bergaya kemayu, berbaju warna pink, dan sibuk membicarakan pentingnya mengetahui isi tas selebritis.

Coba channel berita? Ada breaking news yang mungkin sudah sejuta kali diputar. Dilaporkan oleh reporter yang bertata bahasa acak kadut dengan gaya panik padahal informasi yang disampaikan sering terbukti tak dapat dipercaya. Lengkap sudah!

Begitulah. Mungkin akibat keseringan menelan sinetron atau tontonan-tontonan tak bermutu di TV, kami jadi seperti haus tontonan. Kami haus drama, Bos!

Bisa jadi gara-gara itu, sering terjadi kemacetan di ruas jalan Jakarta hingga hitungan kilometer hanya karena orang-orang melambatkan mobilnya untuk melihat kegaduhan akibat tabrakan di ruas jalan sebelah. Macet karena mendadak semua pengendara motor berhenti untuk menonton dengan seksama para polisi yang menangani kejadian. Benar-benar tak penting!

Jadi jangan pikir akibat kejadian yang anda lakukan itu akan membuat kami kabur. Oh, no way! Tidak mungkin! Kapan lagi kami bisa melihat adegan tembak-menembak ala film Hollywood di depan hidung kami?

Jujur kami akui bahwa sebenarnya kami ini bagian dari keonaran yang kami ciptakan sendiri di kota Jakarta. Kita sama-sama punya rasa amarah, Mas Teroris. Kita sama-sama punya hidup yang bermasalah.

Perbedaannya adalah, rasa cinta dan kasih kami terhadap nilai kehidupan itu lebih besar dari rasa amarah kami. Manusia-manusia Jakarta itu orang-orang berani yang memilih untuk menelan semuanya, menegakkan kepala dan berjuang melanjutkan hidup! Move on, Mas. Ini cuma masalah pilihan, kok!

Dan agar kadar kewarasan tetap terjaga, kami akhirnya belajar untuk mentertawakan semuanya. Tak heran, semua yang terkait dengan kejadian yang kalian sebut "teror" itu malah kami jadikan lelucon. Lebih baik begitu kan daripada kami jadi gila?

Mungkin ya, untuk sesaat kami kaget. Kami terkesiap. Tapi itu tak lama. Maaf, tak ada waktu untuk gemetar dan meratap. Rutinitas hidup harus dijalani dengan bergegas dan buru-buru, kalau tidak kami sendiri yang akan terlindas dan kalah.

Ini memang bukan surat terbuka khusus untuk pelaku teror kemarin. Ini surat dengan pesan untuk kaum teroris di seluruh dunia yang punya rencana busuk untuk Jakarta.

Tak ada yang bisa menandingi kejamnya perlakuan Jakarta kepada kami. Jadi tak usahlah, anda-anda, para teroris bergaya dengan mempertontonkan varian kekejaman lain di Jakarta.

Tidak akan laku dan tentu saja, kami tidak akan takut!


#WeAreNotAfraid

Kamis empat belas Januari.
Catatan saya, yang ber-KTP DKI dan pernah menjajal hidup di Jakarta selama 14 Tahun.




Comments

Popular Posts