saya menangis bukan karena ahok



Putusan itu akhirnya dijatuhkan juga setelah melewati waktu berbulan-bulan dengan ditemani demonstrasi berkali-kali. Bersalah dan dihukum 2 (dua) tahun penjara.

Saya menangis. Sedih. Kecewa.

Saya menangis bukan karena ini menyangkut mantan pimpinan saya selama bertugas menjadi PNS DKI  atau sekadar tentang seorang Basuki Tjahja Purnama. Walau saya mengakui, beliau adalah salah satu pribadi yang membuat saya tetap bersemangat menjalani profesi PNS. Sosok yang berhasil meyakinkan saya, pada satu ketika yang lalu, bahwa di luar sana masih banyak pribadi bersih dalam pemerintahan.

Tapi ini bukan tentang itu. Bukan. Yang saya tangisi adalah ketidakadilan untuk kami, kaum yang mendapat stigma “minoritas” di negara ini. Bahwa nasionalisme dan patriotisme kami sebagai warga negara Indonesia ternyata tidak cukup layak dan tidak dihargai.

Saya sedih bukan karena beliau kebetulan memiliki keyakinan yang sama dengan saya. Bila beliau seorang pemeluk Hindu, Budha atau Kejawen sekalipun, saya pastikan airmata ini akan tetap tumpah. Deras. Karena bagi saya, saat agama berada di ruang publik, itu hanya pelengkap identitas secara administratif. Nilai kemanusiaanlah yang jauh lebih penting. Apakah artinya agamamu bila kau mengekspresikannya dengan kebencian dan mengerdilkan orang lain? Untuk saya, siapapun mereka, selama ada keadilan yang diperjuangkan, saya memilih berdiri bersama mereka. Siapapun.

Saya sedih karena keputusan hakim tadi pagi adalah sebuah bentuk penolakan negara untuk hadir sebagai penjaga keadilan. Menutup mata bahwa ucapan Ahok yang dipermasalahkan itu sebenarnya mewakili kegundahan hati atas sebuah kesempatan adil bagi anak-anak kami kelak menjadi pemimpin di Indonesia. Negeri kami sendiri. Tanah tumpah darah kami. Tempat kami lahir, besar, dan berjuang untuk hidup.

Saya kecewa. Negara ternyata lebih memilih bersikap atas pertimbangan pribadi serta tunduk pada tekanan massa. Menganggap ini murni pidana dan bukan kasus SARA yang dipolitisasi. Diam saat kumpulan massa yang mengiringi pengadilan kasus terdakwa selama ini nyaring menggaungkan suara-suara kebencian terhadap suku dan ras tertentu.

Seperti saya, suara-suara pesimis dan apatis pun mulai berhamburan dimana-mana. Kita harus bagaimana? Entah. Tidak tahu. Yang pasti, jangan mau tetap menjadi bagian dari silent majority. Saya memilih menyatakan pendapat saya. Tak perlu dengan marah. Tak guna dengan debat kusir. Menyatakan sebuah keberpihakan di ruang publik secara tegas itu juga sebuah upaya menolak bungkam. Biarlah saya belajar untuk tetap mencintai Indonesia dengan sisa-sisa kepercayaan saya karena hanya cinta yang bisa meluluhkan rasa frustasi karena dikhianati.

Ahok itu hanyalah simbol. Kasus beliau seperti sebuah kotak Pandora. Saat terbuka, tersingkap jugalah kemunafikan yang tak mungkin tersamarkan lagi, kebodohan yang begitu telanjang, serta kebencian yang tak lagi dapat ditutupi. Mungkin ini memang proses panjang yang harus dilalui untuk kehadiran sebuah pemahaman bahwa memang ada "sesuatu" yang perlu dibereskan di negeri ini. Sebuah pembelajaran yang harus dijalani agar mata hati rakyat Indonesia mampu melihat dengan perspektif kemanusiaan, tanpa harus ada embel-embel suku, ras atau agama. Meski harus berdarah. Walau ada yang dikorbankan.

Saya memang menangis namun juga percaya, tidaklah selamanya penjara itu mengerikan. Ketika berbicara dalam konteks perjuangan, Gandhi, Mandela, Soekarno, Hatta hingga Tan Malaka, adalah nama-nama besar yang melalui hidupnya dalam penjara.  Orang-orang hebat yang memilih penjara karena idealismenya. Orang-orang luar biasa yang dikenang sepanjang zaman.

Izinkan saya mengirimkan doa untuk Pak Ahok dan keluarganya. Tetap semangat ya, Pak. Begitu banyak cinta dan doa yang telah terlantun untuk Bapak selama ini. Tetaplah tegar. Tetaplah yakin. Tetaplah mengampuni mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan.

Ciumbuleuit, sembilan mei
…dan saya pun masih menangis hingga catatan ini selesai ditulis...

Comments

Popular Posts