Tuhan dan dilemaNya


Kalau saja Tuhan rajin membuka sosial media dan membaca sejumlah posting-an para manusia Indonesia saat ini, mestilah Tuhan merasa dilema.

Mungkin baru pada masa ini, nama Tuhan disebut-sebut dengan jumlah luar biasa banyak. Saya curiga, kalau kita mau berhitung, jangan-jangan jumlah pemakaian kata "Tuhan" dalam penulisan status atau berita-berita yang di-share di media sosial saat ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penyebutan namaNya saat manusia Indonesia berdoa di hari yang sama.

Luar biasa. 

Siapa berani bilang kalau masyarakat di negeri ini tidak berakhlak dan tidak religius? Melihat kecenderungan seperti itu, boleh jadi, kita ini adalah kelompok masyarakat yang memiliki tingkat spiritual quality (SQ) yang tinggi.  Menurut Zohar dan Marshall (2005), karakter manusia ber-SQ tinggi itu antara lain adalah memiliki kemampuan berpikir holistik dan tingkat kesadaran (self awareness) yang baik. Mungkin ada baiknya bila diberikan 1 variabel tambahan baru lagi, namun khusus hanya di Indonesia saja, yaitu kemampuan menyebut nama Tuhan secara kuantitas dan mengaitkannya terhadap semua permasalahan negeri. 

Melihat betapa besarnya kesadaran ber-Tuhan yang luar biasa seperti saat ini, tentu wajar dong bila kita mengklaim bahwa Indonesialah yang seharusnya dinobatkan menjadi negara dengan indeks bahagia tertinggi di dunia. Bukannya Denmark. Ini pasti ada konspirasi. PBB pasti sengaja salah menghitung dengan menaruh Indonesia di urutan ke-79. 

Loh, harusnya dengan SQ setinggi itu, hidup anda dan saya pastinya akan gemah ripah loh jinawi! Aman, makmur dan tenteram. Bukankah telah banyak teori yang menyatakan bahwa jenis kecerdasan yang ketiga ini berpengaruh besar dalam keberhasilan dan kebahagiaan hidup manusia? Atau jangan-jangan teori itu yang salah ya?

Lihat saja bagaimana kesadaran ber-Tuhan yang transenden itu benar-benar meresap dalam setiap sel-sel kelabu pikirannya manusia Indonesia, sehingga dalam setiap konflik dan pertikaian yang ada pun, kita dengan antusiasnya membawa-bawa Tuhan.

Sekarang ini, setiap pihak yang berkonflik seperti berlomba-lomba mengklaim Tuhan ada di pihaknya. Secara bersamaan, meminta perlindungan, bantuan dan kekuatan agar pihaknya masing-masing beroleh kemenangan. Mulai dari ajakan berdoa yang disampaikan melalui pesan berantai di pihak sebelah sini hingga ajakan terang-terangan untuk berdoa di ruang publik di pihak sebelah sana. Sama-sama merasa diri mereka adalah korban sehingga merasa perlu untuk berdoa semaksimal mungkin, berharap dapat meluluhkan hati Tuhan. 

Kenyataannya, manusia-manusia Indonesia yang bertikai saat ini lupa atau mungkin pura-pura lupa bahwa sebenarnya kita berdoa pada sosok yang sama, yaitu Pencipta langit dan bumi. Tidak ada yang berdoa pada pohon, kan? Semuanya sibuk memaksa Sang Pencipta untuk menyatakan keberpihakanNya melalui doa-doa yang terkesan seperti mengintimidasi itu.

Bisa jadi, gara-gara tingkah laku masyarakat Indonesia yang seperti itu, kini Tuhan sedang merasa dilema. Mana pihak yang pantas untuk ditolong? Mana pihak yang tidak layak untuk dikabulkan doa-doanya? Manakah dari ciptaanNya itu  yang benar-benar suci hingga layak masuk ke surgaNya dan pihak mana yang begitu durjana sehingga lebih baik dilemparkan saja tanpa ampun ke dalam api neraka yang menyala-nyala?

Seumpama saya diberi kesempatan berperan jadi Tuhan, pastilah saya menjadi dilema, bingung dan depresi berat dalam memberi keputusan. Syukurlah, saya bukan Dia. Saya cuma manusia biasa yang terkadang sok tahu, punya segudang masalah, dan memilih mengudap karbohidrat dan gula sebagai solusi sementara menghadapi masalah-masalah saya.

Untung juga kalau Tuhan tidak punya akun di sosial media. Saya yakin, mestilah Tuhan akan capek hati sendiri gara-gara namaNya keseringan dicatut untuk ditulis bergandengan dengan posting-an yang dihiasi kemarahan dan kebencian. Seakan-akan tidak boleh ada pihak di luar sana yang mungkin saja punya nilai kebenaran dengan alasannya sendiri. Seakan-akan hanya si penulis (dan bersama Tuhan, tentu saja!) adalah pihak yang tak bercacat cela sehingga merasa  layak untuk mengumbar caci dan maki yang saling berbalas. Tak kunjung henti.

Sempat juga tadi terpikir, apa perlu negeri ini dikunjungi bencana besar lagi, seperti yang dulu pernah terjadi, supaya masyarakat Indonesia, yang berkualitas spiritual tinggi namun gemar sekali berkonflik ini, akhirnya mampu berdamai, bersatu hati dan bekerja bahu-membahu atas nama kemanusiaan? Tapi masak iya harus begitu dulu?

Semoga pikiran liar saya dalam paragraf terakhir ini tidak terekam oleh malaikat yang sedang lewat...


ciumbuleuit
kamis, satu desember





Comments

Popular Posts