dunia warna abu-abu

everyone u meet is fighting a battle

that u know nothing about.

be kind.


-anonymous-


Begitu terburu-burunya saya di antrian x-ray terminal keberangkatan Bandara Ngurah Rai Bali sehingga merasa sangat tidak sabar saat melihat sepasang suami istri paruh baya di depan saya yang bergerak dengan kecepatan slow motion. Sangat lamban. Santai sembari mengobrol.

Saya tersenyum kecut. Pesawat yang akan membawa saya ke Jakarta sebentar lagi boarding sedangkan saya belum check-in. Ini semua gara-gara tumpukan pekerjaan yang menahan saya untuk keluar kantor secepatnya. Jelas, bila ketinggalan pesawat, dunia saya akan kiamat sore ini juga. Seketika panik melanda sehingga saya putuskan bergerak cepat mendahului mereka untuk meletakkan barang bawaan saya di depan mesin x-ray.

Tak dinyana, sang suami, yang saya perkirakan berusia pertengahan 50 tahun-an, sontak berteriak marah. Dia menarik lengan baju saya seraya membentak, “Kamu menyerobot!” Dia lalu berpaling kepada para petugas x-ray sambil menunjuk-nujuk saya. “Pak, dia memotong antrian!”  

Saya kesal tapi sedikit geli juga melihat tatapannya kepada para petugas. Seakan-akan saya manusia berdosa, sekelas teroris yang harus ditangkap karena membawa bom di bandara. “Saya minta maaf, Pak. Saya terlambat dan harus mengejar pesawat,” jawab saya sambil bergerak cepat mendorong semua barang masuk ke mesin x-ray. Terpikir semuanya selesai saat saya mencoba meminta maaf dengan sepenuh hati. 

Ternyata dugaan saya salah besar. Beliau sama sekali tak peduli. “Saya juga terlambat!” tukasnya lantang. Saya melirik istrinya yang berdiri tanpa ekspresi, seperti sudah terbiasa jadi pusat perhatian, sementara para petugas memperhatikan kami dengan bersemangat. Mungkin adegan ini seperti sebuah hiburan di antara rutinitas pekerjaan mereka yang tampak monoton.

Saya memilih diam. Bukan ingin menghindari konflik tetapi karena memang tak punya waktu untuk ribut. Saya harus bergerak dengan kecepatan cahaya agar dapat mencapai counter check-in segera. Tanpa menjawab, saya bergegas sambil melempar pandangan berisi pesan “Anda lebay sekali”. Cukuplah. 

Ternyata dramanya belum selesai. Bapak itu tak terima diberi pandangan seperti itu. Dia segera menyusul dan berteriak-teriak. “Heh, kamu menantang, ya? Kenapa melihatnya seperti itu?” 

Wow, seketika itu juga langkah-langkah panjang saya berhenti. Ini benar-benar konyol! Rasa marah tiba-tiba melesak naik memenuhi kepala. Naluri "ke-batak-an" saya memberontak. Seperti ada sesuatu yang menggebu dalam diri, memohon untuk dapat segera dimuntahkan. 

Untunglah, akal sehat berhasil memaksa badan saya untuk berbalik saja, meninggalkan Bapak itu sesegera mungkin. Ada pesawat yang harus saya kejar. Jelas tak ada gunanya harus beradu argumen untuk hal yang benar-benar tidak penting!

Kekesalan saya setidaknya berhasil tertumpahkan sedikit ketika seorang perempuan, yang lewat di samping saya, bertanya, ”Itu orang kenapa, ya?” Dengan manis saya menjawab,”Sepertinya gangguan jiwa, Bu. Sedikit gila. Mungkin stress.”

Syukur, saya tak ditinggalkan pesawat. Di atas ketinggian 30 ribu kaki itu, saya lalu menulis catatan ini. Tentu masih dengan perasaan kesal luar biasa, saat sebuah pemikiran melintas. Hei, mengapa harus marah? Bukankah memang saya yang salah? Saya yang memotong antrian. Saya yang tidak tertib. Apakah orang salah itu tidak pantas untuk mendapat amarah? 

Ketika batin saya menolak dipersalahkan, sebuah pikiran lain kembali datang. Sebuah tudingan. Bukankah saya juga sering berlagak seperti Bapak yang menyebalkan itu? Bukankah saya juga sering memilih marah saat diperlakukan tidak adil? Walau mungkin amarah kami berbeda dalam hal cara dan skala, namun secara konsep, sebenarnya sama saja. Tidak terima. Tidak suka.

Seberapa sering saya mengomel saat ada sepeda motor menyalip dan menabrak kaca spion mobil saya? Padahal mungkin saja, pengendara motor itu harus segera tiba di rumah karena baru menerima berita duka tentang orangtuanya. Siapa yang tahu?

Seberapa sering saya memasang wajah seperti ingin memakan orang pada mereka yang tertangkap sedang membuang sampah sembarangan? Padahal  bisa jadi, mereka memang tidak paham akibat dari tindakannya itu karena dulu tinggal di panti asuhan, kurang kasih sayang, tidak ada yang mengajari dan hanya lulus SD. Siapa yang  tahu?

Ini yang paling sering. Saya suka mengumpat karena jengkel saat sebuah mobil melaju lamban di jalur kanan jalan sehingga memaksa saya untuk berusaha mendahului dari jalur kiri. Mungkin saja bukan karena tak mau berpindah jalur tetapi karena supirnya sedang tidak konsentrasi, gugup, sedih dan bingung. Siapa yang tahu?

Intinya adalah apapun yang terjadi di alam semesta ini, mesti akan selalu ada alasan di baliknya. Tidak ada yang terjadi tanpa sebab. Salahnya, kita suka tidak tahu atau memilih tak mau tahu mengenai alasan-alasan tersebut. Seperti si Bapak menyebalkan di bandara tadi yang tak sudi terima alasan apapun atau seperti saya yang mungkin memang benar-benar tidak tahu tetapi terkadang suka sekali menghakimi!

Ini jadi sebuah tamparan baru untuk saya. Diingatkan agar janganlah hidup terlalu kaku. Harus belajar lebih tenang bila melihat kejadian yang tak sesuai dengan aturan-aturan yang selama ini kita anggap paling benar. Agar punya pemahaman, bila saat ini jalan saya sedang lurus, jangan marah-marah bila ada pihak lain yang memilih berbelok.

Dunia ini tidak selamanya hitam putih. Alam semesta memiliki tempat untuk gradasi warna abu-abu dalam kehidupan manusia. Tidak mungkin ada pihak yang pasti selalu benar dan pihak yang selamanya salah. Saat ini, mungkin saya jadi yang paling suci tetapi besok, bisa saja menjadi pihak yang dicibir banyak orang. Siapa yang tahu?

Sekarang semuanya tergantung pada kita. Ingin memilih dunia abu-abu atau yang hitam putih? Memilih untuk tenang atau mengumpat marah? Apakah lebih ingin bersikap bijaksana dengan belajar memahami atau lebih memilih menghakimi saja?


Sudah...
jangan berlagak seperti tak punya dosa...
#NoteToMySelf

kamis, dua puluh tiga juni dua ribu enam belas
di atas ketinggian tiga puluh ribu kaki
antara denpasar dan jakarta






Comments

Popular Posts