gunawan tjahjono :arsitek pendidik



Penulis  : Safitri Ahmad

Penerbit : Anugrah Sentosa

Tahun    : 2013

Tebal    : 336 halaman




Saya sudah berjanji lama kepada Safitri Ahmad, seorang teman, yang adalah penulis buku gunawan tjahjono :arsitek pendidik, untuk membuat ulasan buku  ini. Sebuah buku tentang guru kami. Prof. Gunawan Tjahjono. Akan tetapi, sebelumnya mohon dimaafkan bila ada tulisan saya yang kurang berkenan atau ternyata resensi ini tidaklah seperti gaya resensi buku pada umumnya.

Saya ingat sekali. Buku gunawan tjahjono: arsitek pendidik ini diberikan kepada saya di suatu hari Rabu, sesaat setelah Sidang TPAK (Tim Penasehat Arsitektur Kota) berakhir. Sidang yang wajib saya ikuti setiap minggu, saat saya masih bertugas di Pemprov. DKI. Sidang yang selalu menarik untuk diikuti karena merupakan sebuah kesempatan bagi saya, seorang PNS tingkat kerani, mendapatkan anugerah duduk semeja dan satu suara dengan anggota TPAK lainnya, yang adalah kumpulan arsitek tingkat dewa. Pada arsitek yang namanya sering dijadikan referensi penelitian di bidang arsitektur/urban atau yang karya-karyanya telah mendapat banyak penghargaan dan diliput media.

Dan pada hari Rabu itu, buku  ini diberikan kepada anggota TPAK karena Prof. Gunawan Tjahjono, tokoh dalam buku, adalah ketua TPAK. Lalu saya pun mendapatkan sebuah buku, bertanda tangan beliau dengan catatan nama saya. Saya memang beruntung.

Hal pertama yang menarik perhatian saat saya memegang buku tersebut adalah sampulnya. Sederhana dan didominasi warna putih. Bagus. Tetapi membuat saya bertanya-tanya: apa arti coretan melingkar seperti gulungan benang hitam tersebut? Garis hitam lengkung yang tak berujung, melingkar dan membentuk sebuah poros. Saya sendiri tak menemukan jawabannya dalam buku ini.  Tetapi tak berani juga menulis asumsi saya mengenainya di ulasan ini. Takut salah. Malu.

Hal berikut yang saya lakukan setelah melihat Daftar Isi adalah membalik halaman buku tersebut untuk melihat gambar-gambar yang disajikan dalam buku. Namun hingga akhir halaman, tak ada satu pun foto diri Prof. Gunawan saya temukan. Apakah mungkin ini memang disengaja? Atau mungkin Prof. Gunawan menganggap foto diri bukanlah hal penting untuk ditampilkan? Untuk saya, itu sebuah pilihan sikap yang menarik sebenarnya mengingat sebuah buku biografi pastilah bertaburan foto-foto diri.

Beberapa hari kemudian, saya pun mulai membaca buku ini pelan-pelan. Membalik lembarannya adalah sebuah kesenangan tersendiri. Tak ingin sekadar membaca saja karena saya tak ingin kehilangan momen tentang Prof. Gunawan dalam tulisan Safitri. Dalam buku gunawan tjahjono :arsitek pendidik ini, penjelasan tentang tokoh utama dikelompokkan dalam beberapa bagian. Bagaimana peran beliau dalam dunia pendidikan arsitektur, masa sekolahnya, keluarganya, kiprah sebagai arsitek dan hasil karya beliau. Gambaran Prof. Gunawan sebagai seorang guru, murid, anak, suami, ayah, kolega sekaligus seorang arsitek dirangkum dalam tulisan yang mengalir membentuk sebuah gambar yang utuh.

Safitri mencoba menjelaskan sosok Prof. Gunawan dari sudut pandang si penulis, yang diwakili oleh “Saya”. Terbaca jelas, Safitri menulis tokoh Gunawan dalam bukunya dengan guratan tinta kekaguman. Saya paham. Saya dan Safitri memang sama-sama anggota Prof. Gunawan fans clubSatu dari banyak hal yang kami kagumi dari Prof. Gunawan adalah cara mengajarnya yang unik. Semua dijelaskan Safitri secara gamblang dalam bab-bab yang menceritakan sosok Prof. Gunawan dalam dunia pendidikan arsitektur.

Seperti Safitri, kekaguman saya dimulai saat saya menjadi mahasiswa beliau di Pascasarjana UI. Menyenangkan sekali bertemu dengan seorang guru yang tak pernah memaksa kami untuk mengikuti keinginan beliau. Kami malah dipaksa untuk berpendapat sendiri. Kuliah itu selalu berdiskusi, tanpa pernah ada yang disalahkan pendapatnya. Ini alasan beliau:
  
Susahnya kalian selalu ingin tahu sesuatu yang benar dan salah. Padahal itu tidak pernah ada. Ini sangat relatif. Anda cenderung menyatakan ini benar karena sebuah konvensi yang anda sering anut dan anda anggap benar. Bagi orang tertentu yang sama sekali tidak mempunyai pengalaman yang sama dengan ada, tentu saja pandangannya berbeda. Hal yang sama dapat dilihat secara berbeda (gunawan tjahjono: arsitek pendidik. Hal. 30).

Tentu saja, tanpa bermaksud mengesampingkan jasa dosen-dosen saya yang lain, saya hanya ingin mengatakan bahwa menemukan seorang dosen di dunia pendidikan arsitektur yang mampu berpikir seperti ini sepertinya tidak mudah. Jujur saja, penilaian dalam dunia pendidikan arsitektur terkadang identik dengan kesubjektivitasan. 

Kalau anda menerjemahkan saya, malah dapat C. Memang aneh untuk orang Indonesia. Memang aneh. Jadi diri kamu sendiri dong. Jangan saya. Jangan jadi Gunawan ke-2. Saya tidak mau membuat murid saya menjadi saya. Itu bukan pendidikan tapi doktrinasi (Halaman 56).

Begitulah, kami harus menjadi diri sendiri. Mungkin konsep ini yang menjadi dasar cara unik beliau memberi nilai tugas kami. Kami, yang sudah terbiasa mendapatkan nilai dalam bentuk huruf atau angka, terkejut saat mendapatkan nilai kami dalam bentuk titik. Ya, titik. Kadang jumlahnya 3, jumlahnya 4. Tak jelas. Dan hingga sekarang pun, setelah bertahun-tahun lulus, makna titik-titik itu masih menjadi misteri besar bagi kami…

Saat memberi kuliah, Prof. Gunawan juga sepertinya lebih suka mengambil posisi sebagai pendengar. Safitri bertutur menjelaskan interpretasinya mengenai makna diamnya Prof. Gunawan dalam buku ini:

Mungkin Gunawan bukan dosen yang suka menjelaskan sesuatu dengan panjang lebar hingga muridnya mengerti. Tetapi mungkin juga ia sengaja menahan diri untuk tidak memberi penjelasan. Ia ingin memberikan kesempatan pada saya untuk berpikir (gunawan tjahjono: arsitek pendidik. Hal. 88).

Beliau memang senang sekali memaksa mahasiswanya untuk berpikir dan berbicara. Lalu apa yang terjadi saat giliran beliau yang berbicara? Biasanya kami ternganga-nganga sambil menganggu-angguk. Itu adalah gaya standar bahasa tubuh kami bila mendengar Prof. Gunawan menjelaskan sesuatu [saya yakin, semua yang pernah menjadi mahasiswa Prof. Gunawan pasti paham maksud saya ini]. Mendengar kata-kata beliau itu seperti mendorong daun jendela pikiran kami untuk terbuka. Selalu saja ada hal baru di luar ruang pikir kami yang menarik untuk dilihat dan dicermati. 

Begitu terkesannya kami, para mahasiswa kepada beliau waktu itu, hingga kami selalu berusaha mengerjakan tugas dengan sepenuh hati dan segenap usaha. Untuk mendapat nilai bagus? Bukan. Kami tak paham nilai bagus karena yang didapat biasanya titik-titik saja di kertas kami. Kami berusaha  sebaik mungkin karena kami ingin membuat Prof. Gunawan puas. Supaya beliau senang mengajar kelas kami. Motivasi yang ajaib memang.

Sederet alasan itulah yang membuat saya dahulu bersemangat sekali menjadi mahasiswa bimbingan beliau saat mengerjakan tesis. Persis seperti alasan safitri:

Cara ia mendidik dan membuka pikiran, membuat saya ingin sekali dibimbing tugas akhir (tesis) olehnya. Saya tahu ini tak mudah. Saya juga hafal bahwa pertanyaan yang saya ajukan, harus saya pula yang menjawabnya. Tak Apa. Saya suka. Tak imbang memang. Selalu kalah dan tak pernah menang. Namun, mampu menjawab pertanyaan ia dengan gesit, sudah membuat saya senang (gunawan tjahjono: arsitek pendidik. Hal. 89).

Mengikuti kuliah Prof. Gunawan memang bukanlah pekerjaan mudah. Beliau itu sangat sangat sangat menuntut para mahasiswa untuk membaca.

Gunawan paling tidak suka, jika mahasiswanya tak membaca dan itu sering membuat ia marah. Saya saksikan sendiri, ia keluar kelas, saat mengetahui mahasiswanya tak membaca buku yang diminta, padahal buku itu akan didiskusi hari itu (gunawan tjahjono: arsitek pendidik. Hal. 103).

Biasanya untuk mengakali tugas tersebut, kami para mahasiswa pascasarjana, yang rata-rata kuliah sambil mencari sesuap nasi hingga nyaris tak ada waktu lebih untuk membaca, langsung membentuk kelompok. Bab-bab dalam buku dibagi-bagi dan setiap orang dipaksa untuk membaca bagiannya. Lalu beberapa hari sebelum kuliah Prof. Gunawan, kami berkumpul untuk berdiskusi mengenai isi buku tersebut. Tidak tahu juga, apakah sebenarnya cara seperti itu dihalalkan ya? Tetapi memang kami harus cari akal untuk menjawab tugas membaca (yang selalunya buku berbahasa Inggris) itu. Kami tak ingin malu saat menghadiri kuliah beliau.

Melengkapi informasi kiprah Prof. Gunawan sebagai arsitek, buku gunawan tjahjono :arsitek pendidik ini pun berusaha membahas karya-karya beliau. Safitri berhasil menjelaskan karya-karya Prof. Gunawan dengan cukup baik walaupun awalnya Safitri tidak percaya diri untuk mengulas karena latar belakang pendidikan Safitri adalah arsitektur lansekap:

Saya tidak paham periode arsitektur dari masa ke masa. Menulis kritik arsitektur yang baik dan benar pun saya tak tahu (kalau itu memang ada). Apa jadinya, jika ia membaca tulisan kritik arsitektur saya terhadap karyanya. Membayangkannya saja, saya minder (gunawan tjahjono: arsitek pendidik. Hal. 158 & 159).

Akan tetapi Prof. Gunawan berhasil membuat Safitri percaya diri. Ulasannya tentang karya-karya arsitektur tersebut dalam Bab 22: reka-reka karakter karya, ternyata tidaklah mengecewakan saya sebagai pembaca.  Arsitektur itu memang sebaiknya harus dapat dijelaskan dengan bahasa sederhana. Merunut pada kata Ghijesels, seorang arsitek zaman kolonial yang mendesain Stasiun Kota: simplicity is the shortest path to the beauty.

Prof. Gunawan juga sosok yang bijaksana menghadapi kegalauan mahasiswa atau mantan mahasiswanya yang seperti saya ini. Teringat saat masih bertugas di TPAK, saya merasa melakukan sebuah kesalahan dengan mengeluarkan pendapat di sidang, yang sebenarnya (setelah saya pikir-pikir kemudian), kuranglah sesuai dengan kapasitas saya saat itu. Saya galau. Seperti anak yang mengadu kepada bapaknya, saya pun mengirim email panjang kepada Prof. Gunawan, sang pimpinan sidang. Tanggapan beliau sangatlah membesarkan hati dengan mengatakan bahwa tak ada pendapat yang kurang berbobot. Lebih baik berani menyampaikan pendapat daripada segan atau diam saja. 

Begitulah. Sekarang anda paham kan mengapa kami mengagumi beliau?

Untuk membaca buku ini, saya berusaha menyisihkan waktu untuk melakukannya dengan sungguh-sungguh. Bukan sekadar membaca. Tentu saja, jadi membutuhkan waktu lama untuk  menyelesaikannya. Tak masalah bagi saya. Saya menikmati setiap tulisannya. Cara Safitri menjelaskan sosok Prof. Gunawan dalam buku tersebut seperti menyuguhkan sebuah drama 3 dimensi di hadapan saya. Penggambarannya cukup detail. Ada humor juga yang diselipkan di sana-sini membuat kita yang membacanya jadi ikut-ikutan tersenyum. Tidak monoton.

Walau begitu, ada beberapa kekurangan buku ini yang sepertinya cukup mengganggu. Kesalahan ketik, kesalahan ejaan penulisan, huruf kecil yang harusnya ditulis huruf besar dan sebaliknya, serta kata-kata yang harusnya terpisah namun justru digabungkan menjadi satu. Itu sebenarnya tanggung jawab seorang editor. Saya kurang paham, apakah mungkin Safitri juga merangkap sebagai editor karena tak ada nama editor yang (biasanya) tercantum di halaman judul buku ini. 

Saya juga melihat banyak dialog antara Safitri dengan Prof. Gunawan atau tokoh lain, yang disampaikan dalam bentuk kutipan, ditulis beruntun dan tanpa ada penjelasan siapa yang berbicara. Karenanya, saya harus sedikit waspada saat membaca untuk dapat mengetahui siapa yang sedang berbicara. Tak jarang, saya berusaha mencoba merunut lagi dari atas untuk melihat siapa yang memulai dialognya.

Mungkin isi buku akan lebih nyaman lagi untuk dibaca bila kutipan-kutipan langsung dalam buku ini dapat diolah kembali memakai kosa kata yang sesuai EYD, termasuk penambahan tanda baca yang dibutuhkan. Selama tidak mengurangi makna, sebenarnya itu bukanlah hal tabu untuk dilakukan. Setidaknya, dapat meringankan para pembaca dalam upaya memahami pesan yang ingin disampaikan. Mungkin Safitri terinspirasi sangat dengan gaya penulisan kualitatif tesisnya. Tak apa. Sah-sah saja.

Di luar kekurangan-kekurangan tersebut,  buku ini cukup berhasil menjelaskan sosok Prof. Gunawan dalam setiap lembar halamannya. Saya juga menyukai jenis kertas dan tipe huruf (font) yang dipilih. Anak saya, Ale, yang berumur 8 tahun, juga sangat senang melihat gambar-gambar dalam buku gunawan tjahjono :arsitek pendidik ini. Tak sengaja sebenarnya. Buku ini tergeletak di atas tempat tidur dan Ale iseng membukanya. Tak lama, dia asyik sendiri dengan lembaran gambar/foto hasil karya arsitektur Prof. Gunawan. 

Gambar  yang disukainya adalah rumah di Jl. Paseban (bab 18: rumah sewa paseban). Foto sebuah selasar yang disinari cahaya warna-warni dari bukaan-bukaan berbentuk kotak-kotak tak beraturan di dinding lorong (Hal. 201). Dramatis. Namun yang paling berkesan untuk Ale, adalah Rumah Batu (Bab 17: Rumah Batu), rumah tinggal Prof. Gunawan. Ale sangat suka dengan railing tangga rumah yang difungsikan juga sebagai rak buku (Hal. 183). Dia menuntut bila satu saat kami mampu membangun rumah sendiri, tangganya haruslah yang seperti itu.

Desain rumah Prof. Gunawan memang menarik. Sederhana tetapi berkarakter. Beginilah Safitri menjelaskan kesannya tentang Rumah Batu:

Menyatu dengan lingkungannya. Punya rasa percaya diri yang kuat. Sedikit sombong. Satu kasar. Kaku. Pongah. Yang lain, tidak terlalu lembut (mendekati biasa malah). Ringan…

Bentuk rumah terkendali, bersih, rapi, jelas, dengan garis-garis yang mudah dibaca dan dipahami. Santai. Tetapi sopan. Tidak ada yang ditutup-tutupi (gunawan tjahjono: arsitek pendidik. Hal. 182).

Terkesan ada nilai-nilai yang kontradiktif dalam desain Rumah Batu. Seperti ada karakter yang saling berlawanan. Yin dan Yang. Dan beliau jujur mengenai hal itu saat menjelaskan konsep rumah tersebut:

Saya yakin dalam diri manusia selalu ada pertentangan dua sifat (alami) yang tak kunjung selesai. Pertentangan antara dua sifat tersebut dapat mengutub dan bila hal ini terjadi ia akan membawa konflik. Namun mereka berdua dapat saling bertemu dan mencari jalan untuk mengisi. (gunawan tjahjono: arsitek pendidik. Hal. 178).

Itulah Prof. Gunawan. Pribadi yang meninggalkan banyak kesan di hati kami, yang pernah menjadi mahasiswa beliau. Seorang inspirator. Membuat saya berangan-angan, bila satu saat alam semesta mengizinkan saya berprofesi sebagai dosen, saya ingin menjadi guru seperti beliau. Bukan hanya sekadar mengajar. Namun juga menjadi seorang pendidik. Pengampu. Fasilitator.

Dan seperti pertanyaan Safitri kepada Prof. Gunawan: mengapa menjadikan Pak Soewondo sebagai dosen favorit masa beliau kuliah dahulu, dan dijawab karena Pak Soewondo itu punya karisma…(Hal. 110), maka seperti itu jugalah jawaban kami bila ada yang bertanya: mengapa begitu terinspirasi oleh Prof. Gunawan?

Kami pasti akan menjawab sama.
:karena Prof. Gunawan mempunyai karisma.


werdhapura sanur
tujuh mei dua ribu lima belas


Comments

Popular Posts