rekayasa itu biasa
Tidak usah lah bicara banyak dan
panjang lebar tentang bagaimana para pejabat merekayasa politik atau para
wartawan yang merekayasa berita. Tak usah juga berbusa-busa menjelaskan bagaimana pengkondisian
dilakukan banyak pihak demi kepentingan tertentu yang harus diwujudkan. Rekayasa
itu sudah seperti makanan sehari-hari kok untuk semua! Begitu seringnya itu
terjadi hingga kita kesulitan membedakan antara asli atau palsu. Antara benar
atau salah. Antara halal atau haram!
Rekayasa itu bukan sesuatu hal
yang hanya terjadi di TV saya saja rupanya. Bukan cuma hal yang sering sekali
dibicarakan dalam acara-acara talkshow oleh narasumber orang-orang hebat dengan
gelar berderet di belakang nama mereka. Rekayasa itu terjadi juga di ekosistem
saya. Mungkin bukan rekayasa politik yang hebat-hebat. Ini cuma masalah
rekayasa data. Bukan hal yang bombastis untuk sebagian besar orang ya?
Ada informasi dari seorang teman.
Bahwa kita bisa mendapatkan nilai Toefl sesuai keinginan kita. Tentu saja
dengan membayar. Pakai uang ya, bukan pakai daun! Seharga Rp.50.000,- per 10
poin. Jadi kalau hasil Toefl kita yang asli hanyalah 450 poin, untuk
mendapatkan 550 poin, tinggal membayar Rp. 500.000,- (Lima Ratus Ribu rupiah) saja! Tak perlu belajar! Tak perlu berkutat dengan contoh soal-soal Toefl! Cukup bermodal pensil 2B, dan simsalabim...nilai 550 di tangan!
Saya cukup stress mendengarnya.
Selama ini, memang sering saya mendengar desas desus nilai Toefl yang bisa
dibuat menjulang ke langit, asalkan ada kompensasinya. Tapi tak pernah
terbayangkan, bahwa itu akan terjadi di depan hidung saya sendiri, oleh orang
yang sehari-harinya beredar di depan mata saya!
Nilai Toefl itu memang salah satu
persyaratan di lingkungan pekerjaan saya untuk mendapatkan kesempatan belajar
meraih gelar S2 (Strata Dua). Harus minimal 550. Tak heran saya, nilai Toefl
hasil rekayasa itu 556! Tipiiiiis!
Tak habis pikir saya. Demi
kesempatan mendapatkan embel-embel gelar di belakang nama, hati nurani itu rela
dibuang begitu saja ke tong sampah! Tak perlu jujur! Yang penting, s u k s e s.
Kalau untuk hal kecil seperti itu
saja, kita rela melakukan pemalsuan, lalu bagaimana menangani hal-hal yang lebih
besar? Tak terpikirkan oleh saya, bila satu saat nanti, teman saya itu menjadi
pejabat, punya pangkat dan kedudukan tinggi. Astaga, membayangkannya saja, saya
sudah malu!
Ya, dunia kita ini memang
abu-abu. Selalu ada alasan untuk segala sesuatunya. Selalu ada pembenaran di
balik suatu kesalahan. Mungkin memang tak seharusnya kita menghakimi karena
belum tentu diri kita juga benar seribu persen. Tapi membayar untuk mendapatkan
jalan pintas, seumur-umur dan selama-lamanya, tak ingin saya lakukan. Bilanglah
saya sombong atau mungkin, malah bodoh! It’s ok. Ini masalah pertanggungjawaban
saya kepada Yang Di Atas. Percuma, saya pergi ibadah. Percuma, saya mengajari
anak-anak saya untuk berbuat hal yang benar, bila ternyata itu cuma sebatas
konsep belaka. Saya tak mau, anak-anak saya tumbuh menjadi manusia yang sinis terhadap
kejujuran.
Saya benar-benar sedih tapi tak
ada juga yang bisa saya lakukan. Hanya tulisan ini saya yang bisa saya buat. Mudah-mudahan
bisa meringankan kepala saya yang cenat cenut gara-gara informasi
yang menyebalkan itu!
Comments