apakah kamu bahagia?

Mereka duduk di atas kuda kayu yang bergerak-gerak dengan monoton itu. Diiringi suara musik yang sangat nyaring, anak-anak itu tertawa dengan gembiranya. Untuk saya, pemandangan anak-anak kecil yang duduk di atas odong-odong itu sangatlah menyenangkan. Rona senang, puas sekaligus bangga terlukis jelas di mata bening mereka.

Bilanglah saya cengeng, melankolis atau apa lah itu. Tapi saya sering terharu bila melihat luapan kebahagiaan anak-anak di atas odong-odong itu. Sama juga seperti saat melihat kegembiraan anak-anak saya ketika saya pulang dari kantor dengan "oleh-oleh". Setiap hari, saya memang selalu membawakan mereka mainan yang dijual di halaman sekolah dasar di belakang kantor saya. Ini memang sudah jadi perjanjian kami. Salah satu bentuk kompensasi karena mereka ditinggal kerja seharian.

Harganya murah meriah. Antara 1000-2000 rupiah saja. Ada gasing, kupu-kupu yang bisa terbang dengan cara ditembakkan, buku mewarna, teropong kecil, senter mini, sampai bola yang bisa membesar bila direndam air. Tampilannya pun sederhana saja. Apa yang diharapkan memang dengan mainan seharga 1000 rupiah? Dalam 1-2 hari, biasanya mainan-mainan itu pun akan teronggok rusak atau bahkan hancur karena dibongkar anak-anak saya.

Untuk anak-anak saya, mainan-mainan murah itu adalah bagian dari kegembiraan mereka. Sama seperti rasa bahagia umumnya anak-anak yang sedang duduk di atas odong-odong. Saya kerap berpikir. Betapa mudahnya membahagiakan anak-anak. Mereka bisa merasa gembira untuk hal-hal kecil dan sederhana di sekitar mereka. Mengapa orang dewasa tidak bisa seperti itu? Mengapa saya tidak bisa begitu?

Alangkah lebih sederhananya hidup bila saya bisa seperti mereka. Bisa merasakan setiap detail kehidupan di sekitar saya sebagai sumber kebahagiaan. Tidak harus kebahagiaan itu diukur dari kualitas dan kuantitas. Saat yang tersedia itu hanyalah kesederhanaan dengan jumlah yang sedikit pun, seharusnya itu mampu membahagiakan saya.

Menurut hasil analisis psikolog Abraham Maslow, manusia akan mencapai kebahagiaan itu bila ada kepuasan karena kebutuhan hidup yang terpenuhi. Apakah arti kebahagiaan? Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa kata itu berarti [n] kesenangan dan ketenteraman hidup (lahir batin); keberuntungan; kemujuran yg bersifat lahir batin. Tapi sekarang pertanyaannya, bagaimana caranya berada di titik tenteram lahir batin itu? Apakah bila mimpi batin saya pada akhirnya tak berwujud, saya dicap mahluk tak bahagia? Atau bagaimana bila "lahir" ternyata yang tak tenteram? Bisa dipastikan ratusan juta manusia di bumi ini tak layak disebut manusia berbahagia!

Dalam bukunya yang berjudul Nicomachean Ethics, Aristoteles (384-322) meyakini bahwa kebahagiaan itu bukanlah sesuatu hal yang dapat dikejar. Bahagia bukanlah sesuatu yang punya makna "selesai" atau "berakhir". Aristoteles percaya, ada kecenderungan manusia untuk selalu mencari kebaikan dalam hidup. Saat manusia berusaha, arti kebahagiaan itu barulah dapat dipahami. Jadi bukan berfokus pada hasil atau prestasi manusia tetapi lebih pada proses memaknai apa yang dikerjakannya demi menghasilkan apa yang baik bagi diri sendiri dan sesama.

Aristoteles bicara tentang kualitas. Bahwa saat jiwa kita puas berarti kita disebut berbahagia. Jika batin saya hanya dipenuhi oleh emosi-emosi positif, dan bukan dengan rasa curiga, prasangka dan kemarahan, saya layak masuk kategori mahluk yang bahagia. Tentu, pengertian ini sangatlah subjektif karena berkaitan dengan cara pandang. Cara pandang berkaitan dengan pola pikir. Pola pikir berkaitan dengan latar belakang. Ini bisa jadi dasar pemahaman mengapa arti bahagia petani di pedalaman berbeda dengan arti kebahagiaan pengusaha di kota.

Tetapi yang menjadi masalah adalah manusia (dewasa) punya kecenderungan mengkuantitaskan makna kebahagiaan. Di zaman modern ini, kita terbiasa memiliki skala untuk mengukur segala sesuatunya. Jiwa kita dipaksa puas hanya bila keinginan "lahir" kita terpenuhi. Mungkin ini yang menjadi salah satu penyebab manusia berbondong-bondong datang ke Jakarta. Mengais-ngais kesempatan menjadi kaya, sukses dan terkenal. Karena saat semua itu berhasil didapatkan, dengan sendirinya keberadaan mereka akan diakui. Jiwa pun akhirnya terpuaskan.

Tak perlulah itu batin yang penuh dengan emosi positif. Korupsi asal bisa kaya raya, mengapa tidak? Kerja pagi-siang-malam, tanpa punya interaksi sosial lagi dengan keluarga, apa anehnya? Stress karena menelan kemacetan yang sudah tak wajar setiap harinya demi pekerjaan yang sebenarnya kita tak sukai, apa salahnya? Ah, kita memang punya definisi kebahagiaan dengan versi kita sendiri.

Saya tidak mau bahagia di umur 50 tahun. Saya ingin bahagia saat ini! Persis seperti anak-anak yang mampu memahaminya melalui hal-hal sederhana di sekeliling mereka. Tetapi mencoba memaknai bahagia, dalam arti yang sebenar-benarnya, berarti harus merubah pola pikir saya terlebih dahulu. Seperti sudut pandang anak-anak, yang berpikir dengan sederhana, tanpa curiga, mudah memaafkan dan berbagi.

Ini seperti naik tangga sebuah menara pencerahan. Mungkin membuang semua ketakutan dan kekhawatiran ke dasar laut dan menggantikannya dengan keyakinan dan keikhlasan dalam batin, bisa jadi adalah suatu langkah pertama untuk naik. Mampukah saya?





































Comments

Popular Posts