tak punya waktu bersyukur?

Saya membaca kalimat bagus dalam tweeter saya. “Ketika sesuatu tidak berjalan baik, ambil waktu untuk bersyukur atas hal lain yang telah dan masih berjalan baik”.

Saya pun terinspirasi untuk me-retweet kalimat tersebut dalam jejaring sosial saya. Tujuannya, tentu saja agar kalimat tersebut dibaca oleh ratusan teman. Berharap kalimat tersebut membuat hari mereka menjadi lebih baik. Lalu bagaimana dengan saya sendiri? Apakah kalimat tersebut mencerahkan hari saya? Apakah saya terinspirasi? Apakah saya menjadi lebih tegar dan kuat?

Ternyata untuk merenungkannya, saya tak punya waktu. Kalimat tersebut hanya lewat begitu saja. Persis seperti saya menelan teguran orangtua saat masih muda dulu. Masuk telinga kiri. Keluar telinga kiri pula. Bahkan tak sempat untuk mampir dan bertengger sejenak dalam kepala saya.

Mengapa saya tak sempat merenungkannya? Sebenarnya, saya tak sempat atau tak mau? Mungkin sebenarnya saya tak mau. Saya tak mau duduk diam, ambil waktu sejenak dari segala kebisingan dan huru hara di sekeliling saya. Saya tak mau memikirkannya lebih dalam karena saya curiga, saya justru tak mampu melakukannya. Kalimat itu memang ringan untuk diucapkan atau sekedar ditulis. Tapi untuk menjadikannya sebuah tindakan? Perlu tenaga super ekstra, yang belum tentu saya miliki.

Jujur itu susah. Jujur itu berat. Untuk bisa introspeksi diri, saya harus jujur terlebih dulu. Harus memilah-milih, mana hal-hal yang saya anggap berkat, mana hal-hal yang saya anggap kemalangan. Mana hal-hal yang membuat saya mampu mengasihani orang lain, mana hal-hal yang ternyata membut saya justru mengasihani diri sendiri.

Saya harusnya membuat daftar hal-hal tersebut. Tapi mungkin saya takut. Takut menerima kenyataan daftar saya penuh dengan ketidaksempurnaan. Atau takut bila ternyata daftar itu dipenuhi hal baik untuk disyukuri, namun pada kenyataannya jiwa saya yang tak punya kemampuan bersyukur. Takut pada kenyataan bahwa ternyata selama ini saya hanya fokus pada hal-hal yang tak menyenangkan saja. Akibat terlalu keras berusaha menjawab deretan pertanyaan dalam rongga otak saya: Mengapa? Kenapa? Bagaimana mungkin? Apakah bisa? Mengapa dia bisa, saya tidak bisa?

Seorang teman pernah berkata bahwa hidup saya sudah sempurna. Kalimatnya tak membuat saya bangga. Saya malah sibuk mereka-reka hal apa dalam diri saya yang bisa dibanggakan. Karir? Terus terang, saya ini orang yang tertinggal langkah. Mungkin di awal, kami sama-sama memulai. Namun tak pernah saya selesai mencari karena selalu tak merasa puas. Saat mereka mulai membangun, saya masih merintis. Saat mereka menikmati, saya mungkin masih jatuh bangun. Begitu banyak keinginan saya dalam daftar pekerjaan yang belum tercapai.

Kalau mau jujur, tidak ada hidup manusia yang benar-benar sengsara! Selalu ada hal-hal baik dalam hidup. Baiklah, dengan rendah hati saya katakan bahwa saya dilimpahi banyak cinta. Saya tumbuh dan besar dalam keluarga, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, yang mengasihi dan mendukung saya. Saya memiliki belahan jiwa dan anak-anak yang sempurna. Saya punya manusia-manusia yang mencintai saya apa adanya. Saya yang pelupa, boros, tidak teliti, tidak sabar dan suka bertindak tanpa dipikir!

Saya juga dikelilingi teman-teman dengan sejarah hubungan pertemanan berumur belasan bahkan puluhan tahun. Teman-teman yang selalu membantu dan siap menjadi tempat sampah segala celotehan saya.

Mestinya mata saya dibukakan sekarang bahwa di balik begitu banyaknya kekurangan dalam hidup saya, saya punya kelebihan yang harusnya disyukuri. Di belahan dunia mana, ada manusia yang punya hidup sempurna? Sukses dalam pekerjaan, bahagia, dicintai dan kaya raya?

Saya sering membaca kisah-kisah hidup sosialita yang dianggap sukses dalam kolom surat kabar langganan saya. Muda, berpendidikan tinggi dan berhasil. Tapi saat saya membaca kisah mereka, sebagian besar menjadi direksi di usia muda karena perusahaan itu adalah perusahaan keluarga. Atau mereka yang sukses dalam karir ternyata masih bermimpi satu saat memiliki keluarga.

Saya tidak anti kemapanan. Saya tidak anti orang-orang seperti mereka. Dunia memang tak adil. Itu sudah saya mengerti. Jadi kalau memang ada golongan orang-orang seperti itu di muka bumi ini, pastilah karena seizin alam semesta. Menjadi berhasil karena adanya kemudahan akibat kondisi kaya dan cantik, bukanlah hal yang haram.

Tentu, saya bukan bagian dari kasta itu. Tetapi saya punya barisan orang-orang yang mengasihi saya dan (jujur saja) mereka tidak akan saya tukarkan dengan apa pun. Cukuplah itu menjadi satu hal yang mampu saya syukuri saat ini. Kalaupun ternyata antrian hal yang belum mampu disyukuri itu ternyata masih luar biasa panjang, biarlah jejaknya terhapus setidaknya oleh 1 rasa syukur yang sudah saya miliki.

Anda bagaimana?


jakarta, satu oktober

memohon diberi hikmat dan pengetahuan di hari ini

Comments

Popular Posts