susahnya jadi pedestrian


Setiap hari-hari tertentu, kantor saya punya kebiasaan rutin (yang menyebalkan untuk sebagian pegawainya, termasuk saya!) yaitu berolahraga pagi. Dimulai dengan berjalan kaki mengelilingi blok sejauh 1 km lalu diikuti dengan senam pagi di halaman kantor.

Buat saya yang pemalas ini, bergerak dalam skala kilometer itu sungguh sebuah siksaan! Apalagi bila harus diiringi suara klakson mobil, motor, raungan bajaj hingga teriakan kenek angkot yang sedap di telinga. Ditemani debu-debu jalan, uap panas dan asap mobil, lengkaplah sudah penderitaan itu.

Saya sempat berpikir. Olahraga model seperti ini, kalaupun bisa dibilang baik untuk jantung, tapi sebenarnya hanya akan membuat paru-paru saya stress berat! Menghirup sekian banyak polusi di jalan raya bukanlah perkara mudah. Saya sudah tahu resikonya menelan mentah-mentah monoksida dan karbondioksida. Tapi ini antara kesadaran dan kepatuhan. Akhirnya saya memilih jadi orang bodoh yang tetap melakukan hal yang saya tahu sebenarnya tidak berguna.

Tidak selesai sampai di situ saja. Selain badan penuh polutan, hati saya pun penuh dengan rasa was-was. Takut tersenggol oknum motor-motor yang tak waras atau ditabrak angkot yang cara berjalannya seperti orang mabuk. Terpaksalah saya berjalan melipir-lipir. Sebentar melenggang di atas trotoar yang tidak rata dan sempit itu. Sebentar turun ke atas aspal tapi dengan kepala yang terpaksa selalu menoleh ke belakang. Benar-benar tidak nyaman!

Teman saya pernah bercerita. Bagaimana suatu ketika saat berjalan kaki, dia harus berebut ruang dengan para pengendara motor yang dengan semena-mena naik ke atas trotoar. Merasa diperlakukan tak adil, teman saya tak mau minggir sedikitpun. Siap menghadapi masalah kalau akhirnya dia ditabrak oleh gerombolan motor tak berurat malu itu!

Kondisi lalu lintas di Jakarta yang tak manusiawi memang rawan menimbulkan konflik. Sulit untuk diurai satu persatu permasalahannya karena sudah begitu kompleks. Tetapi mari kita mencoba meneropongnya dalam skala kecil. Ketersediaan trotoar.

Mengapa Jakarta tidak bisa menyediakan trotoar yang baik untuk masyarakatnya? Mengapa kota ini merasa tidak perlu untuk membela hak kaum pedestriannya? Pedestrian itu bukan trotoar, saudara-saudara. Pedestrian itu saya! Manusia-manusia pejalan kaki. Nyatanya pejalan kaki adalah kaum sudra di negeri sendiri. Tidak ada fasilitas memadai untuk manusia-manusia yang menggunakan kakinya untuk berjalan.

Tak habis pikir saya melihat trotoar yang sudah begitu sempit, malah makin dipersempit lagi dengan ditaruhnya tanaman dalam pot besar bertuliskan Dinas Pertamanan DKI. Atau di lain tempat, trotoar sempit itu berubah menjadi parkir motor atau tempat orang berdagang. Dengan dimensi lebar 80-100 cm yang hanya cukup dilewati 1 orang dewasa, semakin tak manusiawilah trotoar itu karena permukaannya sering bergelombang akibat material yang tersusun tak rapi. Desainnya yang tak menerus karena sering terpotong oleh jalur keluar masuk kendaraan dari dan ke dalam kavling, memaksa pemakainya untuk berjalan naik turun.

Pemujaan kendaraan yang berlebihan oleh warga kota pada akhirnya meminggirkan keberadaan kaum pedestrian. Alih-alih memperbaiki dan menata ulang trotoar di seluruh kota Jakarta, pengambil kebijakan lebih memilih membangun jalan fly over (tol non layang) dengan total panjang 6.3 km itu sebagai prioritas. Alasannya, pertumbuhan kendaraan di Jakarta per tahun mencapai 9,5 persen, sedangkan pertumbuhan jalan cuma 0,01 persen per tahun.

Tahun ini, pemerintah daerah baru mengalokasikan dana sebesar 3.2 milyar untuk memperbaiki 7 trotoar di 13 kecamatan. Artinya tidak menyeluruh di semua kawasan tapi baru di sebagian kecil lokasi demi memenuhi permintaan warga yang dipilih berdasarkan skala prioritas. Bandingkan dengan biaya pembangunan jalan layang non tol sebesar 737 milyar!

Padahal yang harusnya menjadi pekerjaan rumah kita adalah mempertanyakan mengapa pertumbuhan kendaraan bisa mencapai angka seperti itu per tahunnya? Apa yang menjadi penyebabnya? Mengapa manusia-manusia di Jakarta memilih untuk membawa kendaraan sendiri daripada memakai kendaraan umum dan berjalan kaki di atas trotoar?

Mari belajar dari Singapura, negara tetangga terdekat. For your information, saya bukanlah pengagum negara ini. Oh, no! Bahkan saya merasa negara ini berisikan orang-orang paling tidak manusiawi sedunia. Saya cuma mengagumi fasilitas yang diciptakan untuk melayani kebutuhan manusia-manusia itu.

Jakarta dan Singapura. Berada di belahan bumi yang sama dengan iklim dan terik matahari yang sama. Tapi mengapa berjalan kaki di Singapura lebih nyaman dan tak merasa seperti dipanggang matahari? Bolak-balik saya berjalan menyusuri Orchard Road menuju Changi. Menarik-narik koper saya, berjalan di atas trotoar mencari MRT terdekat tanpa peluh dan lelah. Luar biasa ketahanan saya berjalan di atas trotoar mereka yang nyaman dengan lebar yang luar biasa lega itu, mengingat saya pengikut aliran yang menganggap keharusan bergerak adalah bencana besar!

Sekarang, mari bandingkan lagi dengan Jakarta. Siapa berani hilir mudik seperti itu di atas trotoarnya dengan bawaan segudang, di bawah terik matahari dan terpaan debu jalan dalam jangka waktu lama? Saya jamin pasti orang itu akan dituduh kurang pekerjaan atau punya masalah mental!

Ini baru bicara tentang kondisi trotoar untuk penghuni Jakarta yang fisiknya tercipta sempurna. Bagaimana dengan penyandang cacat dan kaum lanjut usia? Kapan mereka mendapatkan haknya untuk bisa berjalan nyaman di atas trotoar yang mampu memenuhi kebutuhan mereka?

Speechless!
















Comments

Popular Posts