he was one of my best friends



my best friends died

Saat mendengar berita duka ini melalui telpon, saya terkejut tetapi belum mampu merasakan apa-apa. Rasanya dunia ini masih mengalir tenang dan nyaman seperti detik-detik sebelumnya. Barulah setelah pembicaraan itu selesai, saya dipaksa menyadari bahwa sesuatu telah terjadi. Rasanya benar-benar terjaga dari satu tidur yang melelapkan.

Lalu tanpa disadari, tiba-tiba semua kenangan saya tentang almarhum teman saya itu datang menyerbu. Semuanya seperti dijungkirbalikkan. Tumpah ruah dari suatu tempat, yang sempat saya kira selama ini telah hilang lenyap. Seperti semua nasib bingkai kenangan lain yang saya punya.

Kilas bayangan tentang kami tiba-tiba datang dan duduk di hadapan saya. Begitu jelas. Begitu hidup. Sepertinya, saya didudukkan di depan sebuah layar besar. Menjadi penonton. Gambarnya berkelebat begitu cepat. Aliran waktu pun berhenti lalu mendadak mengalir terbalik. Memaksa mengairi batin saya dengan masa lalu. Tentang saya. Tentang dia. Tentang persahabatan yang terjalin di kampung halaman kami dulu. Saat kami berdua masih berjuang bersama-sama untuk mencari rupa benda bernama jati diri. Saat kami berdua masih begitu berani untuk membayangkan hal-hal indah tentang masa depan. Begitu muda. Pun begitu naif saat kami katakan bahwa cita-cita kami, satu saat menjadi penyelamat dunia. Begitu mulia dan bersemangat!

Namun mungkin dunia ini memang tak perlu diselamatkan. Mungkin seharusnya kitalah yang harus diselamatkan, Kawan. Karena setelah itu, kita dihadapkan pelan-pelan pada kenyataan hidup. Begitu bertubi-tubi hal-hal tak terduga yang kemudian kita alami. Kekecewaan karena mimpi-mimpi yang begitu sulit dicapai. Kemarahan karena ternyata hidup itu tak adil. Kesedihan karena kepergian orang-orang yang kita kasihi. Saat semua cerita duka mu mengalir, saya, sebagai teman yang baik, cuma bisa berharap alam semesta akan memberi sebagian bebanmu padaku agar hidup yang sedang kau jalani terlihat lebih ringan.

Kita pernah mendaki bersama. Berjalan dalam alur yang sama. Mencoba menuju puncak yang sama. Sayang, seiring waktu, puncak yang kita tuju ternyata berbeda. Tak bisa saya memahami pilihan yang kau ambil, walaupun saya tetap mencoba menghormati semua alasan di balik itu.

If you were here, my dear friend, I'm pretty sure that probably we will be laughing together. Bersama-sama mentertawakan dunia dan diri kita sendiri. Mentertawakan kenaifan yang kita punya. Mentertawakan hidup yang ternyata begitu berbeda dengan alam dongeng. Betapapun besar mimpi dan khayalan yang pernah kita punya tetapi ternyata itu tak lebih besar dari sekedar omongan kita dulu. Pernah di suatu masa...

Selamat beristirahat dalam damai.

in memoriam
catatan di tahun 2001
Cikutra, dua puluh tiga april




Comments

Popular Posts