end of story

Pernah di suatu masa, saat saya masih kecil, hati saya berandai-andai. Andaikan saya punya bapak seperti bapak teman saya itu, bapak teman saya yang ini, pastilah saya sangat berbahagia! Harap maklum, masa kecil saya diwarnai dengan didikan Bapak saya yang semi militer. Sepertinya, kata 'disiplin' itu menjadi nama tengahnya beliau.

Saat kami masih kecil, Bapak sibuk menempelkan 2 lembar kertas di setiap kamar anak-anaknya agar dibaca dan diingat oleh kami. Lembar pertama berisi jadwal kegiatan kami, mulai dari bangun pagi hingga tidur malam. Isi lembar kedua? 5 hal mengapa kita harus belajar! Dan dari 5 poin yang ada, yang masih saya ingat hingga kini adalah poin no.1 : Belajar itu kebutuhan, bukan kewajiban!

Saya akui, saya bukan anak yang penurut. Tidak masuk di akal saya sama sekali, saat saya masih SD dan tinggal di Bandung, kami sekeluarga harus bangun setiap hari jam 4.30 pagi untuk memulai hari dengan senam kesegaran jasmani di halaman samping rumah! Aneh sekali untuk saya, harus bergerak-gerak dengan penuh semangat dalam suasana gelap dan udara yang masih sangat dingin! Karena itu lah, nyaris tiap pagi Bapak marah-marah pada saya, menganggap putri ketiganya ini adalah mahluk paling malas sedunia!

Bapak memang selalu bersemangat membuat peraturan untuk anak-anaknya. Seperti harus menyiapkan seragam sekolah sendiri di malam hari, bangun jam 5 pagi walaupun sedang libur (ini benar-benar menjengkelkan kami!), wajib makan bersama di meja makan, tidak boleh menginap di rumah teman dan harus pulang ke rumah paling lambat pukul 21.00.

Ada di saat-saat tertentu, saya kesal sekali dengan segala peraturan yang menyebalkan itu! Saya masih ingat, pernah sekali saya lupa menyiapkan seragam sekolah saya. Pagi harinya, saya baru sibuk mencari-cari seragam. Alhasil, saat itu Bapak memberikan ultimatum pada saya: ke sekolah dengan baju apa saja atau ditinggal pergi! Jadilah saat itu saya ke sekolah tanpa seragam dan menjadi perhatian utama guru dan teman-teman. Kesalnya luar biasa saat itu!

Ada satu hal lagi yang sering didengung-dengungkan Bapak pada kami. Hidup itu = kerja keras! Beliau selalu bersemangat '45 menceritakan masa kecilnya (yang mengenaskan) pada kami. Bagaimana dulu beliau mencari uang tambahan dengan memberi les pada teman-temannya, yang adalah anak-anak orang kaya. Bahwa hidupnya dulu menumpang di rumah saudara sana-sini. Atau bagaimana dulu hanya punya 2 pasang baju, satu dicuci, satu dipakai. Mungkin karena terlalu sering diulang-ulang, akhirnya kami menjadi hafal dan nyaris bosan mendengarnya!

Tentu saja sebagai manusia biasa, Bapak pun punya segudang kekurangan. Tapi yang membuat saya bangga padanya adalah, dalam proses hidupnya selama 70 tahun, Bapak mampu mengalahkan kekurangan-kekurangannya itu satu demi satu, memperbaiki diri dan tampil menjadi sosok yang semakin tua semakin sabar dan bijaksana. Waktu Saat Teduh keluarga di pagi hari, adalah kesempatan Bapak memberikan nasehat-nasehatnya pada kami semua. Selalu mengasihi Tuhan dan keluarga, damai dengan sesama, selalu bersyukur, berpikir positif, dan menjadi pribadi yang rendah hati.

Semua saudara, sahabat dan relasi merasa kagum saat di umur 67 tahun, Bapak mengambil kuliah teologia karena ingin lebih mendalami hubungan vertikalnya dengan Tuhan, dan lulus dengan cumlaude di usia 69 tahun! Di masa pensiunnya, beliau bekerja di ladang Tuhan. Menjadi penatua di gerejanya dan melayani panggilan khotbah hingga ke pelosok kampung-kampung. Saya masih ingat cerita Ibu saya, bahwa tanpa mereka ketahui, salah satu koran daerah di Medan menulis sosok Bapak karena salut melihat seorang pensiunan militer memilih untuk melayani Tuhan.

Kini setelah saya berkeluarga, menjadi orangtua, barulah saya menyadari betapa luar biasanya Bapak saya! Setelah beranjak dewasa, segala contoh dan nasehat yang ditanamkan di otak kami dari kecil itulah yang kemudian menjadi garis penjaga segala tingkah laku kami saat kami merantau, menjadi kompas dalam menentukan langkah di dunia yang ternyata keras dan tak kenal kasihan, menjadi sumber semangat untuk bangun kembali saat kami tersandung dan harus jatuh.

Saya sadar kini bahwa Tuhan telah memberikan orangtua yang terbaik untuk saya. Pribadi yang banyak memberikan teladan melalui kata dan perbuatannya.

Senin, 13 September 2010 pukul 17.08, beliau akhirnya dipanggil Tuhan di RS. PGI Cikini. Dua minggu sebelum itu, kakak saya bertanya pada Bapak, apakah dia pernah marah pada Tuhan? Bapak menggeleng mengatakan tidak. Saat Bapak tiba-tiba shock di kamar perawatan dan harus dilarikan ke ICU, dengan tekanan darah yang sangat rendah, beliau masih sempat mengangkat tangannya saat kami menyanyikan lagu-lagu rohani di telinganya, dan menutup matanya saat kami berdoa.

Kamis, 16 September 2010, Kol.CBA (Purn) J.A.Silitonga, SH, STh, Bbs, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Sisingamangaraja Medan dengan upacara militer. Setelah pergumulan panjang melewati sakit penyakitnya selama 4 bulan ini, Tuhan akhirnya memberikan kesembuhan yang kekal untuk Bapak. Inilah akhirnya...

miss u so much, dad. C u soon in heaven.

I love u...

Comments

Popular Posts