unpredictable life (1)

Life is unpredictable! Tidak ada yang tahu akhirnya akan bagaimana. That's a misytery of life. Ini sudah memasuki bulan yang ke-3 untuk Bapak saya, yang saat ini terbaring kritis di ICU. Dalam 2 bulan ini, beliau sudah merasakan ICU 2 rumah sakit yang berbeda. Sempat membaik...memburuk lagi...membaik lagi...memburuk lagi...

Awalnya semua baik-baik saja. Tahun ini, Bapak saya berumur 70 tahun. Tepatnya 28 Maret 2010. Di mulai di awal tahun, kami, anak-anaknya, langsung berencana untuk membuat sebuah perayaan ulang tahun untuk beliau. Kami, lima bersaudara, sudah menikah semua dan hidup di pulau yang berbeda. Adik-adik saya bahkan memilih menjadi setengah warga negara di benua lain.

Slowly but sure, kami pun mulai membuat rencana. Rutin saling berkomunikasi dengan segala bentuk, termasuk menggunakan skype. Berusaha mencari ide terbaik yang kami anggap akan mampu menyenangkan hati orang tua kami. Finally, setelah ide membuat pesta di gedung, yang ternyata ditolak mentah-mentah oleh Bapak, akhirnya kami berhasil menemukan ide untuk membuat sebuah pertemuan keluarga di ... Bali!

Kenapa Bali? Karena dalam umurnya yang 70 tahun, Bapak belum pernah ke Bali sama sekali. Kami pun antusias ingin memperlihatkan betapa indahnya pulau itu pada beliau. Apalagi, letak pulau ini tak jauh dari Australia, tempat adik-adik saya tinggal. Ibarat bertemu di persimpangan jalan. So, Bali...here we come!

Selama Februari hingga April 2010, kami bolak-balik menyusun tanggal yang baik karena tidak mudah mencocokkan jadwal 6 keluarga, termasuk jadwal orang tua kami, tentu saja. Awalnya kita tetapkan akhir Maret. Namun tidak semua pihak bisa hadir pada tanggal tersebut. Lalu pertengahan April. Ternyata tidak bisa juga. Sementara tepat pada tanggal 28 Maret 2010 itu sendiri, orangtua saya lebih memilih untuk mengadakan acara syukuran sederhana di sebuah panti asuhan di Medan.

Akhirnya, kami pun menetapkan tanggal 12 Mei 2010. Rencananya, kami akan tinggal selama seminggu di Bali, hingga 19 Mei 2010. Tiket pesawat, akomodasi, transportasi, jadwal acara, hingga makanan yang akan dimakan pada hari H pun sudah disiapkan. Jasa photografer untuk membuat foto keluarga kita pun sudah dibooking. Everything's ready!

Orangtua saya datang ke Jakarta dengan pesawat malam, Rabu 5 Mei, bersama adik saya, Yoseph dan Catelyn. Mereka yang punya kesempatan untuk hadir pertama di Jakarta. Adik saya yang bungsu, baru bisa datang bersama keluarganya tanggal 7 Mei. Saat saya menjemput mereka di Bandara Soekarno Hatta malam itu, mereka terlihat sehat dan gembira. Saya sudah membayangkan hari-hari menyenangkan yang akan kami lalui besok.

Karena saya bekerja, pagi-pagi sekali saya sudah bangun, bersiap untuk ke kantor. Tidak terlalu saya perhatikan kondisi Bapak pagi itu, karena sepertinya beliau terlihat baik-baik saja. Hari itu, orang tua saya memang punya rencana untuk mengunjungi dokter THT untuk memeriksa Bapak saya, yang selama 9 bulan belakangan ini, suka mengeluh batuk-batuk dan susah mengeluarkan dahaknya.

Sore hari, saat saya menjemput mereka di sebuah rumah sakit di kawasan Sahardjo, saya melihat kondisi Bapak terlihat letih. Saya menduga, mungkin karena kelelahan akibat lalu lintas Jakarta yang macet. Maklum, orang daerah jarang mengenal kata macet. Tetapi, entah mengapa, saya tidak punya hikmat untuk berpikir jauh untuk membawanya ke dokter spesialis penyakit dalam saat itu juga. Saya malah mengajak mereka segera pulang ke rumah untuk beristirahat.

Malamnya, Bapak demam dan kesulitan untuk tidur. Saya pun membuat janji esok paginya dengan dokter spesialis penyakit dalam di sebuah rumah sakit besar, yang dekat dengan rumah.

Pagi pun tiba dan Bapak ternyata masih demam. Sebelum ke kantor, saya masih sempat memberikan inhalasi pada beliau dengan alat inhalasi anak saya untuk meringankan nafas Bapak. Tapi ternyata siangnya saya baru tahu, bahwa Bapak menolak dibawa ke dokter itu. Alasannya, karena toh di sore harinya, orangtua saya akan bertemu dengan dokter spesialis paru-paru di RS Pelni, yang direkomendasikan oleh dokter THT.

And the story is begun...

7 Mei 2010, pukul 18.00 wib, saat saya dalam perjalanan pulang ke rumah, tiba-tiba ada telpon masuk dari suami saya. Dia bilang, saat sedang mengantar orangtua saya ke RS Pelni, mendadak Bapak kesulitan bernafas. Dia lalu menyuruh saya segera ke RS Tebet, karena itu adalah rumah sakit yang terdekat dengan lokasi mereka.

Saat itu, Jumat malam. Kondisi lalu lintas macet luar biasa. Pk 18.20, saya sudah sampai di RS. Tebet. Saya menunggu orangtua saya di lobby IGD. Kata suami saya, ibu saya memberhentikan sepeda motor yang kebetulan melintas di dekat mereka, dan memaksa si pengendara motor untuk membawa orangtua saya saat itu juga ke RS Tebet.

Pk. 18.35, saya melihat motor itu. Bapak saya duduk di tengah, diapit oleh pemilik motor dan ibu saya. Saat itu, beliau masih sadar, masih bisa melihat dan melangkahkan kakinya untuk turun dari motor, walaupun wajahnya sudah pucat pasi dan badannya terasa sangat dingin. (Untuk pengendara motor itu, u're the angel that GOD sent to us that day. Thank u!).

Di ruang perawatan IGD, bapak langsung diberikan pertolongan pertama. Saya segera menelpon semua saudara untuk segera datang ke rumah sakit sementara Ibu saya memberi kabar pada keluarga besar kami. Tak terlalu lama, satu persatu saudara dan kerabat pun datang.

Adik saya, Yoseph, langsung mendampingi Bapak di ruang IGD. Semua baju Bapak sudah dilepas. Segala jarum sudah disuntikkan di semua badan Bapak. Bolak-balik, perawat dan dokter berusaha melancarkan jalan nafas Bapak. Mata Bapak tertutup, seperti nyaris tak sadarkan diri. Tak ada reaksi lagi. Nafasnya tersengal-sengal, seakan berjuang sekuat tenaga untuk menghirup udara. Tekanan darahnya sangat rendah. Detak jantungnya sangat tinggi di atas 150!

Kakak dan Ibu saya sudah berderai airmata di ruang tunggu. Saya? Saya tak bisa menangis. Namun seperti ada sesuatu yang menghujam kuat ke ulu hati saya. Badan saya ini seperti mengambang. Tidak berada di ruangan itu. Seperti sedang menonton film tentang kondisi darurat di sebuah UGD rumah sakit. Tidak mungkin ini terjadi, pikir saya. Ini seperti film yang sering saya lihat di TV. Ini hanya terjadi pada orang lain. Bukan saya!

Keputusan dokter, Bapak harus memakai ventilator. Karena saat itu ICU RS. Tebet tidak bisa menyediakan, akhirnya kami sepakat untuk memindahkan Bapak ke RS. Medistra. Kebetulan di malam itu, hanya ICU RS. Medistra yang available.

Bolak-balik kami menelpon 118, meminta ambulans. Bolak-balik kami menelpon dokter anastesi, meminta untuk segera datang, tetapi semuanya benar-benar bergerak dengan sangat lambat! Pukul 18.35, Bapak saya masuk ICU, dokter anastesi baru tiba pukul 10.00. Jam 20.00, kami meminta layanan ambulance, baru pukul 22.30, ambulance itu datang. Damn, where have u been?

Akhirnya setelah ketegangan yang luar biasa tinggi antara kami, petugas medis, dan dokter, finally pukul 23.00, kami bisa membawa Bapak dengan ambulance ke RS Medistra. Saat saya melihat ambulance itu bergerak meninggalkan halaman RS. Tebet dengan suara sirene-nya yang menggema itu, tidak ada tersirat sedikitpun di dalam otak saya yang super letih saat itu, bahwa ini semua hanyalah awal permulaan...

Comments

Popular Posts