Selamat Paskah!

Seorang teman pernah bercerita kepada saya mengapa dia tidak berminat ikut dalam sebuah kegiatan ibadah bersama yang rutin diadakan di kompleks saya. Cerita punya cerita, ternyata dia kecewa dengan salah seorang anggota persekutuan itu. Menurutnya, tetangga kami itu adalah orang tidak jujur dan punya sederet kesalahan besar. Akhirnya, persepsinya ini mampu mengalahkan keinginannya untuk ikut kegiatan ibadah bersama tersebut.

Pandangan bahwa orang yang rajin ikut persekutuan atau pergi ke rumah ibadah, adalah orang-orang yang suci, memang tidak bisa dihindari. Saya pun pernah jadi bagian dari kelompok yang berpikiran seperti itu. Bahwa mereka yang rajin beribadah itu mestinya adalah manusia baik hati dengan moral setinggi langit. Tapi benarkah?

Ada dalam suatu masa, saya cukup terganggu dengan "kebiasaan" manusia-manusia yang sedang beribadah di gereja. Misalnya, jumlah jemaat yang membawa Alkitab dan buku puji-pujian itu, ternyata sama banyaknya dengan jemaat yang tidak membawa kedua benda penting tersebut.

Akhirnya, saat tiba di bagian ibadah yang mengharuskan mereka membaca Alkitab atau menyanyi, alhasil orang-orang -yang mungkin cuma kebetulan saja mampir ke gereja itu karena jelas-jelas datang tanpa persiapan- cuma bisa duduk atau berdiri dengan salah tingkah, lalu berusaha keras untuk lypsinc. Bahkan ada juga yang bergaya tidak perduli sama sekali! Hmmm...

Bagaimana dengan manusia-manusia yang membawa alkitab dan buku puji-pujian? Ah, sebagian dari mereka pun ternyata tidak perduli dengan keadaan di sekeliling mereka. Tidak ada upaya untuk membagi buku mereka atau setidaknya mengajak membaca bersama dengan orang-orang di sebelahnya yang tak membawa apa-apa.

Saya kesal. Tidak seperti ini seharusnya manusia-manusia yang katanya adalah pencinta Tuhan. Tingkah laku orang-orang, yang rajin datang beribadah ke rumah Tuhan itu, harusnya lebih religius dong! Lebih baik! Lebih perhatian ... dan sejuta lebih-lebih lainnya!

Saya protes pada Pendeta saat itu. Saya protes dengan segala kemunafikan yang saya lihat. Apa jawabnya? Waktu itu, beliau tertawa lalu berkata, "Rumah Tuhan itu memang diperuntukkan bagi orang-orang yang berdosa."

Jawabannya singkat dan cukup membantu saya menemukan sudut pandang baru. Saya kini mengerti bahwa orang-orang yang pergi beribadah ke Rumah Tuhan atau tempat-tempat persekutuan itu, sebenarnya MEMANG adalah kumpulan manusia yang berdosa. Manusia yang hina dina. Manusia yang jejak rekamnya penuh dengan kesalahan. Saat mereka datang beribadah, bisa jadi itu merupakan sebuah bentuk aplikasi rasa lapar mereka untuk bisa mengakui segala dosa kesalahan di masa lalu serta upaya pemuasan rasa dahaga akan sebuah pengampunan.

Manusia adalah mahluk bermoral sehingga tidak mungkin manusia mempunyai sejahtera yang sejati jika ia telah berbuat kesalahan. Sekalipun kejahatan itu telah begitu biasa dilakukan sampai kebal, tetap tidak mungkin bisa memperoleh atau mencapai sejahtera yang sejati dan kekal di dalam hatinya. Ini disebabkan karena Allah menciptakan manusia dengan suatu mandat kewajiban moral (Stephen Tong, Peta dan Teladan Allah, 1995).

Hati kecil memang diprogram untuk menghadirkan ketidaknyamanan akibat dosa yang manusia lakukan setiap harinya. Saya jadi bertanya, bagaimana dengan saya sendiri? Apakah saya juga seperti itu? Apakah saya rajin beribadah karena saya merasa diri saya suci dengan iman luar biasa besar atau justru karena saya itu manusia yang penuh dosa?

Saya ingat, bahkan dalam perjalanan ke tempat ibadah pun, saya sudah berbuat dosa. Karena tidak ingin terlambat, berapa sering saya memacu kendaraan saya, menyalip mobil sana sini, hingga kena sumpah serapah orang lain? Berapa sering saya membunyikan klakson dengan tidak sabar, menteror mobil di depan saya agar segera menepi? Atau saat kendaraan antri keluar dari tempat parkir gereja, berapa sering saya memberikan tempat agar kendaraan lain bisa keluar lebih dahulu? Padahal baru beberapa menit sebelumnya, saya mendengar khotbah tentang sikap sabar dan arti memberi...

Jadi, siapakah sebenarnya yang lebih baik? Saya atau kumpulan orang-orang munafik yang beribadah dalam gereja? Teman saya atau tetangga yang dianggapnya tak jujur itu? Pemahaman baru saya adalah, saya ternyata sama saja dengan mereka. Teman saya itu juga tak lebih baik dari tetangganya. Dengan mengatakan secara tak langsung, bahwa dia enggan membaur dalam kumpulan orang munafik, bukankan itu bisa dikategorikan sikap sombong? Merasa dirinya bukan orang munafik, menganggap diri lebih suci hanya karena lebih jujur dalam hidup? please forgive me, my friends, for saying this :)

Mungkin karena semua kesalahan yang telah saya buat itu lah, yang membuat saya selalu rindu datang ke hadiratNya, bersekutu dengan mahluk-mahluk hina dina lainnya, merunduk merendahkan diri ke tingkat paling rendah untuk memohon pengampunanNya. Rindu mendengarkan kata-kata Tuhan, melalui khotbah-khotbah yang menguatkan hati saya bahwa kasihNya luar biasa besar, sehingga saya layak dicintai, diampuni dan diberkati sepanjang umur hidup saya!

Seperti dalam khotbah Kebaktian Jumat Agung tadi pagi yang maknanya menyentuh hati saya. Apa arti salib? Kristus menanggung dosa di kayu salib agar saya diampuni. Kristus telanjang, miskin, tak membawa apa pun di kayu salib, agar saya kaya dengan berkat. Kristus menderita kesakitan di kayu salib, agar saya bisa sembuh. Kristus mati di kayu salib, agar saya bisa hidup!

SELAMAT PASKAH!

Comments

Popular Posts