apa resolusimu?

Awal tahun 2010 ini, saya punya resolusi. Biasa memang, setiap awal tahun, saya suka mengumpulkan banyak resolusi dengan niat ingin menjadi manusia yang lebih sempurna dari tahun ke tahun. Tetapi seperti biasanya, resolusi itu pun akhirnya hanya tinggal catatan belaka, karena ternyata saya tidak cukup konsisten menjadi manusia yang baik.

Hingga saat datang tahun 2010, muncul kembali niat saya untuk 'beresolusi ria'. Salah satunya adalah, saya ingin menjadi manusia yang lebih sabar dan rendah hati. Namun yang tidak saya duga adalah, betapa banyaknya kejadian di awal tahun 2010, datang seperti ingin menguji niat-niat indah saya itu.

Yang pertama, saat saya sedang makan malam di rock bar ayanna bali. Saat itu, saya dan suami duduk dengan manisnya di salah satu tempat yang langsung menghadap laut. Di sebelah kiri saya, duduk pula segerombolan turis asia, yang bila didengar dari logatnya, mesti dari negara tetangga.

Beberapa saat kemudian, setelah membuat suasana cukup hingar bingar, mereka pun memutuskan untuk pindah ke barisan sofa di sebelah kanan saya. Saya tidak begitu mempedulikan, hingga saat saya hendak mengambil telpon genggam, saya sedikit kebingungan mencari tas yang tiba-tiba raib. Ternyata tas yang saya taruh di sebelah kursi saya, sudah pindah ke lantai. Barulah saya sadari, turis-turis di sebelah saya itu mengambil salah satu kursi meja saya, yang jelas-jelas berisi tas saya, dan langsung menaruhnya di lantai. Betapa tidak sopannya!

Kalau tidak ingat resolusi saya, mau saat itu juga saya menghampiri mereka dan sedikit memberi pelajaran bahwa sebaiknya setiap manusia itu wajib menghormati sesamanya terutama bila berada di negeri orang! Tetapi akhirnya, saya pun cuma menelan ludah, menarik nafas panjang sambil menghitung 1 sampai 100. Suami saya berusaha menenangkan dengan mengatakan bahwa tabiat orang-orang dari negara tetangga itu memang terkenal tidak ramah bahkan cenderung sombong. Jadi sebaiknya tidak usah berlelah-lelah memberi mereka kuliah singkat! Hmm...

Kali kedua, saat saya dan anak-anak sedang berada di pantai legian untuk melihat sunset. Karena sudah cukup lelah, akhirnya saya memutuskan untuk masuk ke dalam salah satu restoran milik sebuah hotel berbintang yang persis berada di tepi pantai. Saat hendak masuk, seorang satpam langsung mencegat saya, seakan-akan ingin mengatakan: Ini bukan tempat umum! Yang melayu atau tidak kaya, dilarang masuk untuk melihat-lihat!

Sesaat saya sempat ingin meledak. Saya tahu kalau wajah saya memang wajah kelas pas-pasan. Tidak punya aura orang kaya karena memang bukan! Tapi kalau hanya sekedar makan minum di restoran itu, sepertinya saya mampulah untuk membayar, walau mungkin harus mengorek-ngorek isi dompet. Dengan muka kencang, saya katakan bahwa saya ingin makan di restoran tersebut (ini retoris sekali, mana mungkin saya masuk ke restoran itu, bila tujuannya ingin membeli sepatu?). Seketika wajah satpam itu pun berubah ramah. Seperti tali jemuran saja, yang tadinya kencang, jadi langsung kendur seketika.

Bila mengikuti hati, ingin saya berbicara 4 mata dengan satpam itu. Memberikan sedikit ceramah singkat bahwa manusia rasis seperti dia itu pasti sudah disediakan tempat di neraka. Namun semuanya saya tahan di tenggorokan saja karena ingat akan resolusi saya tersebut. Setelah saya kenyang makan minum sambil menikmati angin pantai, saya melirik satpam itu. Dia masih tetap berdiri di tempatnya semula, menjalankan tugas yang dibebankan padanya. Itu akhirnya membuat saya berpikir, bagaimana kalau saya yang jadi dia? Berlelah-lelah, berdiri (karena memang tidak ada tempat duduk untuknya) menjaga kenyamanan sekumpulan orang-orang yang sedang menikmati makanan yang mungkin tidak mampu dibelinya? Ah, hidup memang tidak adil!

Kali ketiga. Ini saat saya sudah pulang kembali ke Jakarta. Kejadiannya di ruang tunggu dokter gigi. Setelah saya menunggu cukup lama (hampir selama perjalanan jakarta-bandung!), saya pun berseri-seri ketika nama saya dipanggil suster. Namun saat saya hendak masuk, tiba-tiba dokternya keluar dan memanggil seorang perempuan paruh baya yang datangnya paling belakangan. Bila tidak ingat resolusi saya itu, ingin hati langsung keluar dari ruang tersebut sambil bersumpah-sumpah tidak akan datang kembali ke dokter gigi yang menyebalkan itu . Toh masih ada 100 dokter gigi lain yang bisa saya datangi!

Tetapi akhirnya, saya pun memilih duduk kembali, memejamkan mata dan menarik nafas saya pelan-pelan. Berharap emosi saya luntur dan menguap ke udara. Saya harap saya mendapat alasan yang cukup baik dari dokter gigi tersebut untuk perlakuan tidak adil yang saya terima. Benar saja. Saat giliran saya tiba (akhirnya!) , dokter itu pun tergopoh-gopoh minta maaf karena telah membuat diskriminasi dan memberikan alasan yang cukup masuk akal untuk saya. Dan akhirnya, semuanya pun berakhir baik!

Saya senang karena saya menganggap diri saya lulus ujian! Seperti yang pernah saya baca, manusia berdoa meminta kekuatan dan kesabaran. Yang di Atas lalu menjawab doa-doa itu bukan dengan memberikan semua hal yang manusia minta tetapi dengan memberikan berbagai peristiwa yang menguji hingga akhirnya manusia pun menjadi kuat dan sabar.

Saya harap saya lulus bukan di awal-awal saja, tetapi bisa lulus dalam semua peristiwa hidup saya di sepanjang tahun ini. Semoga saja saya bisa naik kelas!






Comments

Popular Posts