kemana semua pedagang sayur keliling itu pergi?

Untuk makan sehari-hari, umumnya penghuni kompleks saya berbelanja di pedagang sayur keliling. Ada banyak tukang sayur keliling yang setiap pagi rajin singgah di rumah saya. Segalanya ada di situ. Mau cari apa? buah? sayur? daging? bumbu? kerupuk? Ada! Bawaan mereka memang luar biasa banyaknya!

Saya sampai bingung kalau melihat mereka membawa semuanya itu di boncengan sepeda motor atau sepeda kayuh mereka. Ibaratnya seperti pegawai rumah makan padang, yang mampu ber-akrobat-ria dengan piring-piring bawaan mereka. Kok bisa ya tersusun begitu banyak dan tidak ada yang jatuh? Bahkan orang yang berdagang pun nyaris sudah tak terlihat lagi. Tertutup kerupuk, sayuran, terutama oleh barisan petai yang melambai-lambai. Waduh!

Saya sebenarnya lebih senang berbelanja di tukang sayur langganan saya itu daripada harus belanja di hypermarket. Biasa, tipikal orang Indonesia yang pemalas, saya ini lebih senang didatangi daripada mendatangi. Tidak capek karena harus mondar-mandir. Tidak harus mendorong-dorong troli. Tidak antri kalau bayar. Kadang saya berpikir, kalau lagi berbelanja di hypermarket itu, di waktu-waktu tertentu, bisa lebih lama proses membayarnya daripada mencari barangnya.

Enaknya lagi, di pedagang sayur keliling, saya juga bisa pesan bahan makanan tertentu bila kebetulan hari ini mereka tidak membawa. Misalnya nih, kalau saya ingin buat apple fritzer (wuih, apa nih? Ini sih hanya donat dari buah apel aja. Cuma memang namanya saja yang rada heboh!). Saya perlu bubuk kayu manis dan baking powder. Tidak ada? Tinggal pesan. Mudah kan?

Tetapi bila saya perhatikan, kok jumlah pedagang sayur keliling di kompleks saya makin berkurang ya? Teriakan 'sayuuuuuuuuuuuur!' itu memang, bila saya perhatikan, lama-lama menghilang. Dari asisten rumah tangga, saya mendapat laporan, bahwa para pedagang itu ternyata tidak masuk lagi dengan beragam alasan. Ada yang sedang sakit. Ada yang pulang kampung (atau dipulangkan ke kampung?). Bla..bla..bla.

Akhirnya, tinggallah 1 orang pedagang sayur keliling yang masih survive. Namanya Pak Amin. Beliau ini yang masih rajin datang dan keliling-keliling di kompleks saya. Tapi ternyata semua itu ada konsekuensinya. Semua harga barang yang dijual pun merangkak naik. Ikan bawal, yang ukurannya sangat imut-imut, diberi harga Rp.7000,-/ekor. Asisten saya sampai mengomel, karena kesalnya. Tapi mau bagaimana lagi?

Konsekuensi sistem monopoli itu memang bisa berlaku dimana-mana. Bahkan hingga pedagang sayur keliling. Demand lebih besar dari suplai membuat harga-harga juga melambung tinggi. Halooo, kami butuh banyak pedagang sayur keliling agar harga-harga kembali stabil!

Makanya, saya suka bingung dengan segala jenis kebijakan pemda Jakarta yang melarang orang datang ke Jakarta. Larangan, yang berlindung di balik Perda No.8/2007 itu, dibuat dengan dalih bahwa Kota Jakarta ini sudah padat penduduk. Pendatang yang tidak mempunyai keahlian, pekerjaan dan tempat tinggal yang jelas hanya akan membebani Jakarta (Kompas, 17/10).

Lah, memangnya jadi tukang sayur atau tukang jahit keliling bukan pekerjaan? Apa menjadi tukang yang berjualan kue putu, seperti yang sekarang sering lewat depan rumah saya setiap sore, harus bisa bahasa Inggris? Mengada-ada sekali!

Itulah kalau kebijakan itu diambil karena hanya karena melihat dari satu sisi saja.
Ibaratnya, memutuskan hanya dengan memakai kacamata kuda!
Lapangan kerja informal itu jauh menyerap tenaga kerja lebih banyak daripada yang formal. Sama-sama dibutuhkan. Apalagi, kalau bukan oleh saya!

Kelompok kelas menengah, yang dibilang miskin bukan, kaya juga tidak.
Kelompok kelas pekerja yang harus rela hidup jadi komuter, membuang waktu dan bensin di jalan, tinggal di pinggiran kota karena tidak mampu bayar tanah di tengah kota.
Yang semangat sekali membeli tiket java jazz tapi berteriak histeris tanda tak mampu saat mendengar harga tiket konser Sarah Brightman.

Seperti yang ditulis Ridha Saleh (wakil ketua Komnas Ham), bahwa saat ini ada usaha peniadaan akses setiap warga negara, khususnya bagi rakyat kecil, untuk hidup dan memilih pekerjaan yang layak sesuai dengan kemampuan dan ukuran mereka.

So, kalau orang-orang itu dilarang datang, terus siapa dong yang mau jualan sayur di komplek saya? Siapa dong yang akan jadi asisten rumah tangga saya yang baru, setelah Lebaran besok?

Memangnya bapak-ibu pengambil keputusan itu, mau memotong rumput halaman depan rumah saya?

Please read!
Pembangunan, Ham dan Operasi Yustisi

Comments

Popular Posts