turut berduka cita!

Di dekat rumah saya, di wilayah pinggir Jakarta, nyaris masuk area pedalaman, tapi untungnya masih tercantum dalam peta, ada sebuah lapangan hijau besar. Dikelilingi sebuah bangunan kelurahan dan sebuah sekolah SD. Lapangannya sih biasa-biasa saja, hanya ditumbuhi rumput hijau saja. Kadang kalau lagi hujan, bisa berubah juga jadi lapangan lumpur.

Saya tidak tahu, lapangan itu milik siapa. Pemda kah? Sekolah itu kah? Kalau melihat posisinya yang bisa dikatakan berada di halaman depan sebuah kelurahan, bisa jadi memang lapangan itu milik pemda.

Sering bila saya sedang dalam perjalanan pulang di siang hari, saya melihat lapangan hijau sebesar lapangan sepakbola itu digunakan anak-anak SD itu untuk berolahraga. Saat saya melintas di sore hari, lapangan itu penuh dengan gerombolan orang dewasa yang bermain sepakbola. Kadang, pada musim tertentu, lapangan itu dipakai sebagai tempat Pasar Malam.

Segala macam jenis mainan, seperti komidi putar (tapi memakai tenaga orang!), stand-stand yang menggelar pakaian murah meriah, hingga pentas dangdut, sering memenuhi lapangan kosong itu. Penuh. Tidak ada sisa. Pokoknya lapangan itu begitu hidup, walaupun tidak indah, tidak ada pohon peneduhnya, tidak ada perkerasan atau tempat orang untuk bisa duduk-duduk di sekitarnya.

Semuanya itu berjalan begitu saja. Saya pun tidak terlalu memperhatikan keadaan lapangan hijau itu, hingga kemarin. Saat saya melintas hendak pergi, saya melihat sebuah buldozer besar sedang mondar mandir seperti setrikaan di lapangan tersebut. Sibuk menggali-gali tanah dan memindah-mindahkannya! Oh, my God, what are they doing? Saya mencoba berpikir positif. Siapa tahu pemilik lapangan itu hendak memperbaiki kondisi lapangan itu atau lingkungan sekitarnya. Siapa tahu kan?

Tapi kondisi garuk-garuk tanah itu berjalan terus. Lama-kelamaan, melihat galian dan volume tanah yang digali, saya curiga. Sepertinya ada yang berniat membuat pondasi. Jangan-jangan!

Otak saya pun membuat 1 kesimpulan yang membuat perasaan saya campur aduk. Marah, kesal, gusar, campur aduk jadi 1. Saya jadi seperti ingin menangis ala pemain sinetron. Muka tidak berekspresi, dandanan tidak rusak, tapi airmatanya membanjir keluar! Kenapa ya, susah sekali membiarkan suatu ruang kosong tanpa harus ada bangunan di atasnya?

Memang di sekitar rumah saya itu, sedang berjamur ruko-ruko baru, yang bentuknya ajaib-ajaib. Mengaku minimalis tapi tanpa pakem yang benar. Cuma mengadopsi warna abu-abu untuk cat, lalu mengklaim ruko gaya minimalis. Aduuuuuuuuh!

Benar saja! Baru tadi saya melewati lapangan itu lagi, sudah terbentang sebuah spanduk besar di lapangan tersebut. Isinya? Mohon doa restu, di sini akan dibangun ruko sentra bisnis, bla..bla..bla! Tuh, tebakan saya 500% benar. Karena memang di seberang jalan lapangan itu, sedang dibangun deretan ruko, sebagai fasilitas pelengkap sebuah perumahan yang dibangun di belakangnya. Saya benar-benar tidak tahan melihat warna cat ruko itu. Persis kayak bangunan TK. Cerah, ceria, kayak warna permen karet! Lapangan itu pun kini jadi korban, jadi bagian kelanjutan pembangunan ruko permen karet itu.

Punya tanah sebesar itu, tanpa ada fungsi komersial di atasnya, mungkin kurang dianggap menguntungkan. Yah, kalau lapangan itu milik para kapitalis, mungkin agak susah didebatnya. Tapi kalau tanah itu milik Pemda, kok tega sekali yang punya ide untuk membelinya dan membangun bangunan di atasnya? Tega sekali Pemda yang rela menjualnya? Padahal, lapangan itu sudah berbelas-belas tahun begitu.

Lalu, dimana nanti anak-anak SD itu berolahraga? Di jalanan? Yang penuh dengan debu, asap, polusi plus resiko ditabrak? Di mana lagi orang-orang kampung di situ bisa berkumpul dan menyalurkan energinya untuk marah-marah pada kondisi negeri yang lagi carut marut ini, dengan ber-sepakbola-ria?

Capek deh memang kalau bicara soal Ruang Terbuka Hijau. Di samping kompleks perumahan saya, juga sedang dibangun perumahan baru. Jangan ditanya, apa ada taman? Nol! Semua lahan habis untuk dibangun rumah dan pasar modern. Kalau saya, yang jadi pembeli, saya sih berpikir ulang untuk mau membeli rumah-rumah di situ. Anak saya mau main di mana? Lah wong, sama sekali tidak ada taman. Tidak ada yang hijau-hijau. Menyedihkan!

Itulah salah satu sebab, mengapa saya tidak mau bekerja di developer (maaf untuk teman-teman yang bekerja di sana, hehehehe, bukan maksud saya menggeneralisasi ya!). Saya takut masuk neraka karena ide dan keputusan saya. Di satu sisi, idealisme. Di sisi lain, ada kepentingan pasar alias uang. Padahal seharusnya, ada kewajiban pengembang untuk menyediakan RTH. Ini diatur dalam PERDA, yang artinya bergantung pada kesadaran masing-masing Pemda. Kota Semarang saja sudah mensahkan perda yang mewajibkan pengembang memberikan lahan 20% untuk RTH. Jakarta? Bekasi? Tidak jelas!

Saya cuma bisa mengucapkan duka cita yang sedalam-dalamnya atas nasib lapangan sepakbola di dekat rumah saya itu. Cuma bisa turut berbela sungkawa atas matinya sebuah ruang hijau dan terbuka lagi di dekat saya tinggal. Saya tidak akan memberi restu, yang memang tidak diminta oleh si pengembang, karena mereka cuma basa-basi saja menaruh spanduk itu. Saya cuma bisa bilang, semoga yang menjual tanah, yang membeli dan yang membangun ruko-ruko di atas lapangan hijau yang malang itu, satu hari nanti mendapat ganjaran yang setimpal! Amin.

Please read!
RTH di Bekasi Tersisa 10 Persen
Perda Penataan Ruang Terbuka Hijau Telah Disahkan

Comments

Anonymous said…
Setuju! Mbak, mau ikutan nulis di blog kami? (Tiwi&Arni). Kunjungi: http://kotasaya.wordpress.com/. lumayan untuk share ide dan sudut pandang ;).
christin said…
wah, mau..mau! soalnya kalau bicara topik ttg kota, pasti seru! ok, i'll be there and thank u dah mau baca blogku. :)

Popular Posts