belajar bersyukur

Pernah merasa lelah dan jengkel setiap hari, pada jam yang sama?

Jujur saya, itu perasaan yang paling sering saya alami bila pulang dari kantor dulu. Saat saya masih bekerja untuk orang lain. Saat saya masih single dan merasa mampu melakukan semuanya sendirian. Saya merasa lelah bila sudah seharian bekerja. Setengah mati memutar otak bagaimana membuat desain yang disetujui semua pihak. Lelah diburu-buru untuk meeting dan dikejar-kejar deadline. Belum lagi kalau ada pekerjaan di lapangan yang tidak sesuai dengan kesepakatan, bunyi dering telpon yang masuk itu seperti teror bagi saya karena semuanya pasti berasal dari pihak-pihak yang tidak puas. Mengerikan.

For your information, saya ini bukan manusia sempurna. Terkadang, atasan saya pun juga ikut menambah beban hati saya dengan segala 'ketidakpuasan' yang disampaikan secara langsung tanpa belas kasihan sedikit pun. Pernah suatu saat, beliau 'mengomel' di tangga kantor. Berhubung gedung kantor saya cuma berlantai-4, akibatnya semua teman-teman di tiap lantai jadi tahu kejadian itu karena suara 'marah-marah' itu ternyata membahana kemana-mana. Jadilah siangnya, setelah makan siang, telpon di meja saya berdering-dering. Mereka menelepon untuk memberikan ucapan duka cita dan bela sungkawa.

Jengkel? Soal yang ini bukan karena masalah kantor. Ini masalah setelah jam pulang kantor. Apa lagi kalau bukan tentang lalu-lintas Jakarta yang menyebalkan! Jangan ditanya bagaimana pemandangan jalan pulang dari kantor saya di daerah Jakarta Pusat ke rumah saya di Jakarta Selatan. Kendaraan yang berderet dan tidak bergerak itu memberi kesan seperti ada barisan mobil parkir di tengah jalan. Karena saya harus menyetir sendiri, saya pun terpaksa menelan bulat-bulat semua kekesalan saya bila sedang terjebak macet.

Salah satu, di antara salah lainnya, yang bisa membuat saya jengkel luar biasa adalah saat mobil di depan saya bergerak sedikit saja, maka dipastikan deretan mobil di belakang saya dengan ganasnya membunyikan klakson mobil mereka masing-masing untuk menyuruh saya bergerak juga. Terpaksa saya cepat-cepat memajukan mobil walaupun tidak sampai 10 meter ke depan, saya toh tetap harus berhenti juga. Kan, masih macet!

Belum lagi bila melihat tingkah laku supir angkutan umum dan pengendara motor yang semena-mena, menyerobot, atau mendahului padahal ruang yang ada sudah begitu tipis. Kalau sudah begitu, saya pun tidak ragu-ragu membuka kaca jendela mobil, khusus untuk marah-marah pada mereka.

Selain jengkel, saya juga dihinggapi kebosanan. Siapa sih yang tidak bosan mengendarai mobil yang tidak bergerak? Maka biasanya, sambil menunggu giliran maju, saya suka melihat ke kiri dan kanan...saya panggilkan becak...kereta tak berkuda...Loh, kok jadi lagu itu? Maksud saya, selama kemacetan itu saya harus mencari kesibukan supaya tidak pingsan karena bosan, selain mendengarkan suara penyiar radio yang riangnya luar biasa itu.

Biasanya, saya suka melihat-lihat mobil di sebelah saya dengan segala aktivitas yang terjadi di dalamnya. Saya sering melihat mobil, yang dikendarai oleh sang supir, sementara yang punya mobil, tidur di kursi belakang dengan posisi yang membuat orang sirik, sedang sibuk dengan notebooknya, atau sedang menonton TV yang dipasang tepat di depan hidung sang majikan.

Kalau sudah begitu, saya, yang kakinya sedang pegal luar biasa karena harus menekan kopling terus saat itu, suka berangan-angan. Kapan ya, giliran saya bisa punya supir? Duduk tenang di belakang, menikmati sarapan pagi saya dengan tenang atau istirahat melepas lelah di mobil setelah pulang kantor? Tapi percuma saja memutar otak, mencari dan mengais-ngais. Toh kenyataannya, penghasilan saya tidak cukup untuk membayar gaji seorang supir. Jadi kesimpulannya? Saya menelan ludah saja, mencoba menikmati sendiri waktu-waktu saat terjebak macet di jalan.

Hingga suatu saat, saya pulang dari kantor. Waktu itu sudah jam 18.30. Segala sesuatunya tampak seperti biasa. Jakarta diguyur hujan dan macet (seperti biasa!). Karena kemacetan yang terjadi saat itu sudah luar biasa parahnya, saya pun berupaya mengambil jalan pintas. Saat melewati jalan pintas itulah, saya melihat seorang kakek menarik gerobak jualannya sambil berjuang menembus hujan. Kakek itu tenang saja saat mobil-mobil yang melewatinya memberikan hadiah cipratan lumpur ke bajunya. Saya tidak tahu, Kakek itu mau kemana tapi tebakan saya, beliau mungkin berjalan pulang, setelah seharian berkeliling untuk berjualan.

Sama seperti saya juga yang akan pulang. Kami sama-sama akan pulang. Bedanya, beliau pulang berjalan kaki, menarik gerobak yang berat dan diguyur hujan. Sementara saya pulang mengendarai mobil yang nyaman dengan pendingin, terlindung dari hujan. Mungkin beliau pulang dengan membawa uang seadanya. Yang penting cukup untuk makan keluarganya besok. Sementara saya pulang sambil membawa slip gaji dengan sejuta rencana di otak saya, akan menghabiskan uang di cafe mana bersama teman-teman besok malam. Penghasilan Kakek itu mungkin hari ini ada, mungkin hari besok tidak ada. Sementara saya, selalu tidak pernah merasa takut kehilangan pekerjaan, karena yakin ada sejuta pekerjaan di luar sana yang menanti.

Sambil menyetir, saya pun pelan-pelan mulai merasa malu. Malu pada kaca depan mobil saya hingga pada kursi belakang mobil saya. Saya tidak tahu apakah Kakek itu mengeluh akan keadaannya yang kurang beruntung itu. Saya tidak tahu apakah hari ini jualannya laku atau tidak. Tetapi bila laku pun, berapalah penghasilan yang didapatkannya? Apakah dia seperti saya? Lelah hati karena segala sesuatu yang terjadi ternyata tidak seperti yang diinginkan? Apakah Kakek itu jengkel saat badannya basah kuyup oleh hujan dan percikan lumpur?

Saya tidak tahu jawabannya. Tetapi yang saya tahu pasti, saya seharusnya tidak mengeluh karena ternyata hidup masih lebih ramah terhadap saya. Karena ternyata apa yang saya punya itu lebih dari cukup. Mungkin karena saya selalu melihat ke atas. Akibatnya apa yang ada di bawah saya tidak terlihat. Harusnya kegiatan melihat ke bawah itu menjadi rutinitas, karena pada saat itu lah saya mampu menerima kondisi saya sebagai suatu kelebihan yang mungkin tidak dimiliki orang lain.

Saya tidak kenal Kakek itu. Bertemunya pun hanya selintas di jalan. Tapi kehadirannya benar-benar menggugah saya. Bahwa saya harusnya bersyukur. Bahwa saya harusnya belajar untuk lebih sabar. Mungkin terjebak di kemacetan itu salah satu latihan yang diberikan Tuhan untuk melatih kesabaran saya. Mungkin segala masalah di kantor itu diizinkan terjadi untuk mengajar saya menjadi orang yang lebih baik lagi. Yang pasti, mulai saat itu, saya berjanji pada diri saya untuk belajar mengurangi jumlah keluhan saya dan belajar mengucap syukur.

Comments

Popular Posts