ketika perempuan memilih

Refleksi di Peringatan Hari Kartini, 21 April 2008
by: Neni Utami Adiningsih

"Kami disini memohon dengan sangat supaya diusahakan pengajaran dan pendidikan bagi anak – anak perempuan. Bukanlah karena kami hendak menjadikan anak – anak perempuan itu menjadi saingan laki – laki dalam perjuangan hidup ini. Kami hendak menjadikan perempuan menjadi lebih cakap dalam melakukan tugas besar yang diletakkan oleh ibu alam sendiri ke dalam tangannya agar menjadi IBU, pendidik manusia yang utama!"
Demikianlah bunyi isi surat Kartini kepada Prof. G.K. Anton dan istrinya, tertanggal 4 Oktober 1902. Secara jelas, menjabarkan cita – cita Kartini untuk memintarkan perempuan, yaitu demi mendidik anaknya.

Surat ini mempertegas gagasan Kartini seputar perlunya perempuan berpendidikan, yang berbunyi “...dari perempuanlah, manusia itu pertama – tama menerima pendidikan. Di pangkuan perempuanlah, seseorang mulai belajar merasa, berpikir dan berkata – kata. Dan bagaimanakah ibu-ibu Bumiputera dapat mendidik anak – anaknya, kalau mereka sendiri tidak berpendidikan?”. Kalimat di atas merupakan penggalan surat Kartini tertanggal 2 November 1900 bagi Prof. G.K. Anton dan istrinya.

Pertanyaannya, bagaimanakah kondisi perempuan Indonesia saat ini, apakah masih sejalan dengan cita-cita Kartini? Saat ini, semakin jamak saja kita menjumpai perempuan yang berkiprah di ruang publik. Apalagi kian hari tingkat pendidikan perempuan Indonesia semakin tinggi. Tentu tak menjadi masalah bila ia masih melajang, karena suaminya tidak berpenghasilan, karena merupakan orang tua tunggal yang mesti menghidupi diri dan anak-anaknya, atau karena kondisi ekonomi keluarganya yang sangat miskin. Namun bagaimana bila ia sudah menjadi istri bahkan sudah menjadi ibu, dengan kondisi ekonomi yang berkecukupan?

Pilihan

Dalam konteks hak asasi, sesungguhnya menjadi istri dan juga menjadi ibu adalah sebuah pilihan. Artinya seorang perempuan mempunyai hak untuk memilih menikah atau tidak. Dan ketika ia sudah memilih menjadi istri, maka tertutup juga beberapa hal yang hanya dimiliki perempuan lajang, sebagai gantinya, muncul pilihan baru. Yang mesti diingat adalah, apapun pilihannya pastilah ada resikonya. Nah, disinilah kerap mencuat masalah. Karena tidak jarang perempuan telah berani membuat pilihan namun ia tidak berani mengambil konsekuensinya. Sebelum perempuan memilih untuk menikah dan mempunyai status baru sebagai istri misalnya, semestinya ia sudah memikirkan betul-betul konsekuensinya. Dalam hal kebebasan, tentulah berbeda antara perempuan yang belum menikah dengan yang sudah menikah, karena status menikah akan membuatnya tidak saja terikat pada keluarga besarnya sendiri, namun juga mengikatkan diri pada suaminya bahkan juga pada keluarga besar suaminya. Artinya, apa yang akan dilakukan, tidak lagi bisa hanya berdasar pada maunya sendiri tapi juga harus mempertimbangkan keinginan dari suaminya.

Demikian juga sebaliknya untuk laki-laki yang telah memutuskan memilih menikah, menjadi seorang suami. Ketika sudah menjadi istri, maka perempuan akan dihadapkan pada pilihan baru (yang tidak akan diperolehnya ketika ia masih melajang), yaitu mempunyai anak atau tidak mempunyai anak. Bersama suaminya, semestinya ia memikirkan dengan matang segala hal yang terkait dengan pilihan tersebut, termasuk konsekuensinya. Bila ia dan suaminya memutuskan menunda mempunyai anak maka konsekuensinya akan semakin tua usianya saat melahirkan, yang berarti semakin besar resikonya. Bahkan melahirkan di atas usia 35 tahun sudah dimasukkan dalam kategori resiko tinggi. Belum lagi, selama menunda kehadiran anak, maka suasana rumah akan terasa sunyi, tanpa celotehan lucu anak-anak. Demikian juga sebaliknya, bila ia dan suaminya memutuskan untuk mempunyai anak maka harus dipikirkan juga konsekuensi bila nanti sudah punya anak. Karena pilihan mempunyai anak tidak sebatas pada proses hamil dan melahirkan, namun juga proses mengasuh anak. Biasanya, para (calon) ibu sangat senang menjalani proses hamil juga melahirkan. Begitu senangnya sehingga mereka bersedia mengorbankan apapun, termasuk nyawa.

Namun sayangnya tidak demikian halnya ketika memasuki proses mengasuh anak, terlebih bagi ibu yang sebelum memutuskan untuk memilih mempunyai anak sudah sibuk di ruang publik, entah untuk alasan aktualisasi diri, bermansipasi, kemandirian, bersosialisasi ataupun alasan sekedar mengisi waktu luang. Sebulan, dua bulan setelah melahirkan mereka mulai resah, antara keinginan untuk kembali ke ruang publik dan konsekuensi telah mempunyai anak. Beberapa ibu sudah mulai sibuk memilih susu formula termahal untuk menggantikan ASI nya, sudah mulai sibuk mencari baby sitter, mulai sibuk menghubungi orang tua / mertua/ ataupun saudara yang bersedia dititipi menjaga anaknya, sibuk mencari tempat penitipan anak bahkan ada yang sudah sibuk diet menguruskan badan agar penampilannya kembali ‘enak’ dilihat, tak peduli akan mengurangi produksi ASI yang sangat diperlukan oleh bayi mungilnya.

Tidak jarang di masa inilah mulai terjadi pertengkaran antara suami – istri. Mereka saling meminta pengertian pasangannya agar mau ‘berkorban’ mengurus sang buah hati. Ya, berkorban. Sebuah kata yang kerap diucapkan, walaupun sesungguh-nya sangat tidak benar. Mengurus anak, bukanlah sebuah pengorbanan orang tua. Mengurus anak adalah sebuah konsekuensi dari pilihannya ingin mempunyai anak. Kata ‘berkorban’ secara tidak langsung menempat anak sebagai sosok yang merepot-kan, yang mengganggu, bahkan yang menghancurkan masa depan orang tuanya.

Di Republika edisi 16 Desember 2007 lalu, diulas sosok ibu bernama Nani yang memutuskan menjadi ibu rumah tangga saat menikah, sebelumnya ia bekerja di salah satu bank swasta di Jakarta. Keputusan ini ia pilih karena ia ingin membesarkan sendiri seluruh anaknya, agar ikatan emosionalnya menjadi lebih dekat. Menurutnya, mengurus rumah maupun bekerja sama-sama punya satu tujuan: ibadah. Alasan lainnya, Nani tak ingin anak-anaknya bernasib seperti dirinya. Kedua orangtua Nani adalah orang sibuk. Dia sering merindukan kehadiran orangtuanya, namun orangtuanya sering pulang pada malam hari. "Perempuan yang sukses mengurus anak adalah orang yang sukses dalam kariernya sebagai perempuan," begitu simpulnya.

Memang ada perempuan yang karier, rumah tangga, dan pernikahannya sukses namun belajar dari keadaan di sekitarnya, Nani melihat bila banyak perempuan yang sukses dalam karier, namun tak sukses di rumah tangga dan kehidupan perkawinan. Bahkan Nani juga berkata, "Banyak ibu yang sukses menyadarkan banyak orang agar terhindar dari narkoba, namun dia sendiri tidak tahu anaknya terjerumus narkoba."

Lalu apa hasil dari kerja keras Nani selama ini, ketika ia pontang-panting mengurus keluarganya? Kelegaan. Saat ini, Nani lega karena bisa mengantar anak-anaknya mendapat pendidikan yang baik, tidak saja dari sisi intelektual namun juga dari sisi spiritual, emosional dan sosial.

Berpendidikan

Dalam konteks mengambil pilihan dan kemampuan menanggung konsekuensi inilah, perempuan memerlukan bekal yang berupa pendidikan. Bagaimana bisa membuat pilihan dan mengetahui konsekuensinya bila perempuan tidak diajari untuk berpikir secara logis, terstruktur, dan bertanggung jawab, yang semua itu diperoleh dalam proses pendidikan. Tidak bisa dipungkiri bila kian hari biaya pendidikan di negeri ini semakin mahal saja. Memang untuk pendidikan dasar sudah mulai gratis, tapi itu hanya untuk biaya operasional sekolah negeri saja. Sementara untuk kebutuhan buku, seragam, alat-alat tulis, orang tua tetap harus mengusahakannya sendiri.

Dengan kondisi ekonomi sebagian besar penduduk negeri ini yang memperihatinkan, sekolah menjadi sesuatu yang mahal. Bila anaknya lebih dari satu, mau tidak mau mesti dipilih, siapa yang sebaiknya disekolahkan. Dan biasanya, anak laki-lakilah yang diberi prioritas. Di sinilah perlunya kita memaksa Pemerintah untuk memenuhi hak seluruh rakyat atas pendidikan murah bahkan gratis, sehingga orang tua bisa menyekolahkan semua anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Selain itu kita juga perlu memaksa Pemerintah untuk mengubah definisi sempit atas istilah istri/ibu bekerja.

Hingga kini Pemerintah, melalui Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional masih mendefinisikan ibu / istri bekerja adalah ibu / istri yang bekerja atau melaksanakan kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh penghasilan (pegawai negeri / swasta dan wirausaha). Ini artinya, ibu Nani dan juga ibu – ibu lain yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga, oleh Pemerintah dianggap sebagai istri / ibu yang tidak bekerja, yang menganggur. Tanpa redefinisi dipastikan akan semakin banyak ibu yang tidak mau mengambil konsekuensi untuk mengasuh anak, sekalipun ia telah menempuh pendidikan tinggi. Ya, siapa sih yang mau dianggap sebagai pengangguran? Dengan langkah-langkah di atas, mudah-mudahan kelak, para perempuan Indonesia semakin terdidik dan berani mengambil pilihan sekaligus konsekuensinya.

*Neni Utami Adiningsih, Ir. M.T.,
Ibu rumah tangga dengan tiga anak yang sangat berminat pada masalah anak, perempuan dan keluarga dan Penggagas Forum Studi Pemberdayaan Keluarga (Family Empowerment Studies Forum)

Comments

Popular Posts