apa arti sebuah nama?

Saya termasuk mahluk pelupa. Penyakit lupa saya sudah keterlaluan, mungkin sudah masuk stadium 3 (kalau stadium 4, itu sudah masuk kategori pikun. Kayaknya saya belum separah itu deh!). Kata para ilmuwan, orang bisa menjadi pelupa akibat jam tidur yang kurang. Mudah-mudahan ini bisa jadi pembelaan buat saya, mengingat waktu kuliah dulu, tidur 5 jam itu kayaknya sudah mewah benar! Ibu saya pernah bilang, jangan-jangan kalau telinga saya bisa dilepas, mungkin saya sudah kehilangan telinga ratusan kali karena lupa menaruhnya di mana. Ih, seram!

Penyakit lupa saya ini terkadang suka saya jadikan pembenaran, terutama ketika sedang berkenalan dengan orang dalam waktu singkat. Artinya, perkenalan terjadi ketika saya tanpa sengaja bertemu teman, yang kemudian mengenalkan saya dengan orang yang kebetulan sedang bersamanya. Umumnya waktu berkenalan, kita akan berjabat tangan dan saling menyebutkan nama.

Nah, bagian ini yang kadang membuat saya pusing. Teman baru saya itu jelas-jelas sudah menyebutkan namanya, tetapi kalau anda tanya pada saya 5 menit kemudian, siapa namanya, saya pasti akan menampilkan wajah linglung dengan bahasa tubuh yang salah tingkah. Eh, siapa ya tadi namanya? Mmm... itu, anu...siapa ya tadi? Kalau sudah begitu, saya suka membela diri dengan berkata," Yah, sepertinya tadi dia kurang jelas deh menyebut namanya." Begitulah, karena waktu perkenalan yang tanpa sengaja itu berlangsung sekilas saja, saya pun akhirnya menganggap mereka itu teman 'sekilas' juga.

Sampai pada suatu saat, saya berada dalam posisi 'teman sekilas' tersebut. Saya mempunyai janji bertemu dengan teman kuliah pascasarjana saya, seorang presenter di salah satu tv swasta yang membawa acara talk show 'serius'. Umumnya, orang-orang yang beliau wawancarai itu adalah sekumpulan manusia super sukses dalam bidangnya, terkenal dan smart (mudah-mudahan, satu saat saya bisa masuk dalam kelompok ini!).

Saat saya dan 2 orang teman saya, dengan penampilan seadanya bahkan nyaris menyedihkan (maklum, kami termasuk mahasiswa yang mesti pontang-panting cari dana kuliah sendiri), datang menemui teman presenter tersebut di kantornya, beliau ternyata harus segera shooting. Agak terburu-buru, kami pun diperkenalkan kepada tamunya, yang adalah seorang senior general manager bank swasta terbesar di Indonesia (sudah general manager, senior pula!)

Saat shooting selesai, teman saya dan tamunya tersebut menghampiri kami. Setelah berbasa-basi sejenak, Bapak General Manager itu pun pamit untuk pulang lebih dulu. Beliau menjabat erat tangan kami masing-masing, lalu berkata," Mari Bu Christin, Bu Nia dan Pak Miki, saya duluan," sambil memberikan kartu namanya pada kami. Teman-teman saya mungkin menganggap itu kejadian biasa-biasa saja tetapi buat saya, itu situasi yang cukup mengusik hati. Kok bisa-bisanya Bapak itu hafal nama kami masing-masing padahal tadi perkenalannya singkat saja. Bahkan jujur, saya sendiri tidak sempat mengingat nama beliau (kan, lagi-lagi sifat pelupa saya kambuh!).

Kalau memakai perumpamaan kasta, beliau itu jelas-jelas kasta brahmana. Kami? Sepertinya masuk kasta sudra. Tapi seorang kasta brahmana ternyata mau begitu rendah hati untuk mengingat nama orang-orang dari kasta jauh di bawahnya. Sementara saya justru manusia sudra yang kadang suka berlagak dari golongan brahmana. Kok bisa? Ya, bisa saja. Karena sebenarnya saya memang suka lupa dengan nama teman baru atau tepatnya sengaja lupa karena mungkin di dalam alam bawah sadar saya, teman-teman 'sekilas' itu tidak terlalu penting karena pertemuan kami juga hanya sebentar, secepat kilat. Tidak terlalu penting karena memang saat itu, saya tidak punya kepentingan apa-apa dengan teman baru tersebut. Mungkin nanti kalau ternyata saya punya kepentingan, barulah saya akan berjuang mati-matian untuk menghafal nama teman 'sekilas' saya tersebut.

Saya baru menyadari mengapa saya belum (bukan tidak loh!) masuk golongan orang yang dianggap sukses. Karena saya lupa bahwa salah satu kunci menjadi orang sukses adalah mampu mengingat nama orang yang baru kita kenal, entah itu teman dengan kepentingan, teman tanpa kepentingan, teman 'sekilas' atau bukan. Dengan belajar mengingat, saya belajar untuk rendah hati. Mungkin tidak perlu lagi saya jelaskan apa relevansi rendah hati dengan kesuksesan karena saya pikir kita semua dapat menarik benang merahnya.

Sekarang saya masih belajar mengingat, mudah-mudahan satu saat nanti, saya bisa menjadi seorang kasta brahmana yang rendah hati, seperti Bapak Senior General Manager itu.

Comments

Anonymous said…
Tulisan yang berdasarkan pengalaman ini bisa jd pelajaran bagi kita yang ingin membangun relasi atau community yang diperlukan dalam pekerjaan ataupun bersosialisasi dengan baik.

Popular Posts