asisten rumah tangga

Untuk saya, pembantu di rumah saya yang super mungil itu masuk kategori asisten rumah tangga. Kalau tidak ada mereka, terus terang saya pasti akan jungkir balik mengurus segala-galanya. Mulai dari membersihkan rumah, belanja, memasak hingga menyapu halaman rumah saya yang selalu penuh dengan bunga kamboja gugur.

Karena bantuan mereka yang luar biasa itu, maka saya pun dengan kesadaran penuh berusaha berhati-hati dalam memperlakukan mereka. Ibarat rumah itu sebuah kantor, mereka itu ya asisten-asisten saya, perpanjangan tangan saya dalam mengatur segala sesuatu agar kantor saya bisa berjalan baik.

Terkadang kalau saya membaca berita tentang pembantu yang dianiaya, saya tidak habis pikir kok bisa-bisanya para majikan itu memperlakukan mereka lebih hina dari hewan peliharaan. Anjing peliharaan ayah saya saja, yang selalu diberi makan roti tawar setiap pagi, satu saat pernah menerjang pagar karena girangnya melihat Ayah saya. Pagar itu pun dengan indahnya mendarat di bagian depan mobil Ayah saya.

Ringsek? Sudah pasti! Tapi toh Ayah saya hanya bisa pasrah. Memangnya kalau marah-marah lalu sang anjing disambit, mobil Ayah saya seketika bagus kembali apa? Nah, kalau dengan hewan kesayangan saja, kita bisa memaafkan, masa untuk mahluk yang derajatnya lebih tinggi, kita tidak mau lebih bermurah hati?

Sebenarnya saya hanya mau berbagi pengalaman tentang asisten-asisten rumah tangga saya. Sebagian besar dari mereka cukup betah tinggal di rumah saya hingga Lebaran tahun berikutnya tiba. Kalau Hari Raya ini sudah tiba, itu berarti saya harus bersiap-siap untuk mencari asisten baru karena asisten yang lama tiba-tiba mengirim sms dari kampung yang isinya," Maaf, Bu. Sepertinya saya tidak bisa pulang lagi. Tapi terima kasih untuk semua kebaikan Ibu. Saya doakan Ibu sekeluarga sehat dan baik-baik saja. Thanks." Nah, kalau sudah begini, badan saya langsung lemas karena ini berarti saya mesti pontang-panting lagi mencari asisten baru. Padahal mereka sudah berjanji demi bulan dan bintang, akan kembali ke rumah saya setelah Lebaran selesai.

Saat asisten pertama saya tidak kembali lagi setelah pulang kampung, saya mencoba introspeksi diri. Apa yang salah dengan saya? Kok mereka hanya bertahan 1 tahun saja? Kalau bicara gaji, saya selalu memberi gaji yang baik. Tidak kurang bila dibandingkan dengan asisten tetangga-tetangga saya. Bahkan kalau saya membeli makanan dari luar, pasti ada yang saya sisihkan untuk mereka. Sampai-sampai suami saya pernah berkata,"Beli donat 6, pembantu dapat 2. Jatah majikan dan pembantu kok sama banyaknya ya?".

Saya juga memberikan mereka TV untuk ditonton di kamar mereka sehingga setelah saya lihat-lihat, kok kamar pembantu saya sekarang mirip kamar kost saya waktu masih mahasiswa dulu ya? Intinya, saya berusaha memberi yang terbaik kepada mereka. Mulai dari makanan, vitamin hingga baju baru. Terkadang kalau saya lagi ada rezeki, saya juga suka memberikan bonus pulsa handphone kepada mereka supaya bisa bersms-ria dengan pacar mereka di kampung.

Tetapi biarpun begitu, ada juga loh asisten saya yang hanya betah 1 bulan saja. Setelah gaji pertama diberikan, asisten saya ini dengan suksesnya kabur dari rumah saat kami sekeluarga sedang pergi. Mungkin dia tidak betah karena hampir tiap hari saya memberikannya ceramah tentang betapa pentingnya bekerja dengan hati. Lah wong, kerjanya tidak pernah beres. Misalnya, kalau ditanya apakah perabot rumah sudah dibersihkan, asisten saya itu dengan tenangnya mengangguk. Padahal waktu saya cek, debunya ada segunung.

Tapi jelas, saya tidak marah-marah seperti cara perempuan yang marah-marah di sinetron. Mata melotot hingga mau keluar, suara tinggi dan urat lehernya terlihat menonjol semua. Sampai saya suka pusing kalau melihat adegan seperti itu, masa sih orang marah seperti itu? Di belahan bumi mana ya dia tinggal?

Saat saya curhat pada teman saya, komentarnya begini,"Makanya, tidak usah terlalu baik dengan mereka. Tidak usah memberi bonus-bonus segala. Cukup berikan apa yang menjadi hak mereka saja. Toh, dihujani kebaikan juga, mereka tetap tidak betah." Mendengar ini, saya jadi makin kecewa. Apa benar, di zaman sekarang ini, yang namanya loyalitas itu sudah tidak ada lagi? Suami saya, yang mencoba menghibur, berkomentar begini,"Harap maklum, mereka itu kan rata-rata tamat SMP. Yah, coba dimengerti saja kalau mereka itu sulit berpikir panjang ke depan." Masa sih?

Saya rasa tidak perlu orang tamatan universitas ternama dari luar negeri yang mampu memahami arti kebaikan. Setiap manusia pasti dikaruniai kemampuan itu. Sekarang, terserah pada yang empunya hati, apakah dia mau memahami atau tidak. Ini tidak ada kaitannya dengan tingkat intelektual. Lah wong, kalau bicara loyalitas, saya saja juga hobby sekali pindah-pindah kerja. Tidak kuat iman kalau ada tawaran yang lebih menarik di luar kantor saya. Jadi apa yang salah dong?

Saya masih belum menemukan jawabannya hingga minggu lalu, para asisten saya yang sudah mengundurkan diri itu, tiba-tiba mengirim sms-sms ke saya. Mereka menyapa saya tanpa ada rasa bersalah sama sekali karena tega meninggalkan saya dengan semena-mena. Isinya? "Malam, bu. Apa kabar ibu sekeluarga? Mudah-mudahan sehat-sehat semua ya, bu. Saya boleh kan sms Ibu lagi kapan-kapan, menanyakan kabar?". Atau yang ini, "Siang, Ibu. Saya kangen sama Ale (yang ini nama anak saya). Boleh gak kapan-kapan saya main ke rumah Ibu? Balas ya, Bu!"

Nah loh!

Comments

Popular Posts