gunawan tjahjono :arsitek pendidik
Saya sudah berjanji lama kepada Safitri Ahmad, seorang teman, yang adalah penulis buku gunawan tjahjono :arsitek pendidik, untuk membuat ulasan buku ini. Sebuah buku tentang guru kami. Prof. Gunawan Tjahjono. Akan tetapi, sebelumnya mohon dimaafkan bila ada tulisan saya yang kurang berkenan atau ternyata resensi ini tidaklah seperti gaya resensi buku pada umumnya.
Saya
ingat sekali. Buku gunawan tjahjono: arsitek pendidik ini diberikan kepada saya di suatu hari Rabu, sesaat setelah
Sidang TPAK (Tim Penasehat Arsitektur Kota) berakhir. Sidang yang wajib saya
ikuti setiap minggu, saat saya masih bertugas di Pemprov. DKI. Sidang yang selalu
menarik untuk diikuti karena merupakan sebuah kesempatan bagi saya, seorang PNS tingkat kerani, mendapatkan anugerah duduk semeja dan satu suara dengan anggota TPAK lainnya, yang adalah kumpulan arsitek tingkat dewa. Pada arsitek yang
namanya sering dijadikan referensi penelitian di bidang arsitektur/urban atau yang karya-karyanya telah mendapat banyak penghargaan dan diliput media.
Dan pada hari Rabu itu, buku ini diberikan kepada anggota TPAK karena Prof. Gunawan Tjahjono, tokoh dalam buku, adalah ketua TPAK. Lalu saya pun mendapatkan sebuah buku, bertanda tangan beliau dengan catatan nama saya. Saya memang beruntung.
Dan pada hari Rabu itu, buku ini diberikan kepada anggota TPAK karena Prof. Gunawan Tjahjono, tokoh dalam buku, adalah ketua TPAK. Lalu saya pun mendapatkan sebuah buku, bertanda tangan beliau dengan catatan nama saya. Saya memang beruntung.
Hal
pertama yang menarik perhatian saat saya memegang buku tersebut adalah
sampulnya. Sederhana dan didominasi warna putih. Bagus. Tetapi membuat saya bertanya-tanya: apa arti coretan melingkar seperti gulungan benang hitam tersebut? Garis
hitam lengkung yang tak berujung, melingkar dan membentuk sebuah poros. Saya sendiri tak
menemukan jawabannya dalam buku ini. Tetapi tak berani juga menulis asumsi saya mengenainya di ulasan ini. Takut salah. Malu.
Hal
berikut yang saya lakukan setelah melihat Daftar Isi adalah membalik halaman
buku tersebut untuk melihat gambar-gambar yang disajikan dalam buku. Namun
hingga akhir halaman, tak ada satu pun foto diri Prof. Gunawan saya temukan. Apakah
mungkin ini memang disengaja? Atau mungkin Prof. Gunawan menganggap foto diri
bukanlah hal penting untuk ditampilkan? Untuk saya, itu sebuah pilihan sikap
yang menarik sebenarnya mengingat sebuah buku biografi pastilah
bertaburan foto-foto diri.
Beberapa hari kemudian, saya pun mulai membaca buku ini pelan-pelan. Membalik lembarannya adalah sebuah kesenangan tersendiri. Tak ingin sekadar membaca saja karena saya tak ingin kehilangan momen tentang Prof. Gunawan dalam tulisan Safitri. Dalam buku gunawan tjahjono :arsitek pendidik ini, penjelasan tentang tokoh utama dikelompokkan dalam beberapa bagian. Bagaimana peran beliau dalam dunia pendidikan arsitektur, masa sekolahnya, keluarganya, kiprah sebagai arsitek dan hasil karya beliau. Gambaran Prof. Gunawan sebagai seorang guru, murid, anak, suami, ayah, kolega sekaligus seorang arsitek dirangkum dalam tulisan yang mengalir membentuk sebuah gambar yang utuh.
Safitri
mencoba menjelaskan sosok Prof. Gunawan dari sudut pandang si penulis, yang
diwakili oleh “Saya”. Terbaca jelas, Safitri menulis tokoh Gunawan dalam bukunya
dengan guratan tinta kekaguman. Saya paham. Saya dan Safitri memang sama-sama
anggota Prof. Gunawan fans club. Satu dari banyak hal yang kami kagumi
dari Prof. Gunawan adalah cara mengajarnya yang unik. Semua dijelaskan Safitri secara
gamblang dalam bab-bab yang menceritakan sosok Prof. Gunawan dalam dunia
pendidikan arsitektur.
Seperti
Safitri, kekaguman saya dimulai saat saya menjadi mahasiswa beliau di
Pascasarjana UI. Menyenangkan sekali bertemu dengan seorang guru yang tak pernah memaksa
kami untuk mengikuti keinginan beliau. Kami malah dipaksa untuk berpendapat sendiri.
Kuliah itu selalu berdiskusi, tanpa pernah ada yang disalahkan pendapatnya. Ini
alasan beliau:
Susahnya
kalian selalu ingin tahu sesuatu yang benar dan salah. Padahal itu tidak pernah
ada. Ini sangat relatif. Anda cenderung menyatakan ini benar karena sebuah
konvensi yang anda sering anut dan anda anggap benar. Bagi orang tertentu yang
sama sekali tidak mempunyai pengalaman yang sama dengan ada, tentu saja
pandangannya berbeda. Hal yang sama dapat dilihat secara berbeda (gunawan tjahjono: arsitek pendidik. Hal. 30).
Tentu
saja, tanpa bermaksud mengesampingkan jasa dosen-dosen saya yang lain, saya
hanya ingin mengatakan bahwa menemukan seorang dosen di dunia pendidikan
arsitektur yang mampu berpikir seperti ini sepertinya tidak mudah. Jujur saja, penilaian
dalam dunia pendidikan arsitektur terkadang identik dengan kesubjektivitasan.
Kalau anda
menerjemahkan saya, malah dapat C. Memang aneh untuk orang Indonesia. Memang
aneh. Jadi diri kamu sendiri dong. Jangan saya. Jangan jadi Gunawan ke-2. Saya
tidak mau membuat murid saya menjadi saya. Itu bukan pendidikan tapi doktrinasi (Halaman 56).
Begitulah, kami harus menjadi diri sendiri. Mungkin konsep ini
yang menjadi dasar cara unik beliau memberi nilai tugas kami. Kami,
yang sudah terbiasa mendapatkan nilai dalam bentuk huruf atau angka, terkejut
saat mendapatkan nilai kami dalam bentuk titik. Ya, titik. Kadang jumlahnya 3,
jumlahnya 4. Tak jelas. Dan hingga sekarang pun, setelah bertahun-tahun lulus,
makna titik-titik itu masih menjadi misteri besar bagi kami…
Saat memberi kuliah, Prof. Gunawan juga sepertinya lebih suka mengambil posisi sebagai pendengar. Safitri bertutur menjelaskan interpretasinya mengenai makna diamnya Prof. Gunawan dalam buku ini:
Mungkin
Gunawan bukan dosen yang suka menjelaskan sesuatu dengan panjang lebar hingga
muridnya mengerti. Tetapi mungkin juga ia sengaja menahan diri untuk tidak
memberi penjelasan. Ia ingin memberikan kesempatan pada saya untuk berpikir (gunawan tjahjono: arsitek pendidik. Hal. 88).
Beliau memang senang sekali
memaksa mahasiswanya untuk berpikir dan berbicara. Lalu apa yang terjadi saat giliran beliau yang
berbicara? Biasanya kami ternganga-nganga sambil menganggu-angguk. Itu adalah
gaya standar bahasa tubuh kami bila mendengar Prof. Gunawan menjelaskan sesuatu
[saya yakin, semua yang pernah menjadi mahasiswa Prof. Gunawan pasti paham
maksud saya ini]. Mendengar kata-kata beliau itu seperti mendorong daun jendela
pikiran kami untuk terbuka. Selalu saja ada hal baru di luar ruang pikir kami
yang menarik untuk dilihat dan dicermati.
Begitu
terkesannya kami, para mahasiswa kepada beliau waktu itu, hingga kami selalu berusaha
mengerjakan tugas dengan sepenuh hati dan segenap usaha. Untuk mendapat nilai
bagus? Bukan. Kami tak paham nilai bagus karena yang didapat biasanya
titik-titik saja di kertas kami. Kami berusaha sebaik mungkin karena
kami ingin membuat Prof. Gunawan puas. Supaya beliau senang mengajar kelas kami.
Motivasi yang ajaib memang.
Sederet alasan itulah yang membuat saya dahulu bersemangat sekali menjadi mahasiswa bimbingan beliau saat mengerjakan tesis. Persis seperti alasan safitri:
Sederet alasan itulah yang membuat saya dahulu bersemangat sekali menjadi mahasiswa bimbingan beliau saat mengerjakan tesis. Persis seperti alasan safitri:
Cara ia
mendidik dan membuka pikiran, membuat saya ingin sekali dibimbing tugas akhir
(tesis) olehnya. Saya tahu ini tak mudah. Saya juga hafal bahwa pertanyaan yang
saya ajukan, harus saya pula yang menjawabnya. Tak Apa. Saya suka. Tak imbang
memang. Selalu kalah dan tak pernah menang. Namun, mampu menjawab pertanyaan ia
dengan gesit, sudah membuat saya senang (gunawan tjahjono: arsitek pendidik. Hal. 89).
Mengikuti
kuliah Prof. Gunawan memang bukanlah pekerjaan mudah. Beliau itu sangat sangat
sangat menuntut para mahasiswa untuk membaca.
Gunawan
paling tidak suka, jika mahasiswanya tak membaca dan itu sering membuat ia
marah. Saya saksikan sendiri, ia keluar kelas, saat mengetahui mahasiswanya tak
membaca buku yang diminta, padahal buku itu akan didiskusi hari itu (gunawan
tjahjono: arsitek pendidik. Hal. 103).
Biasanya
untuk mengakali tugas tersebut, kami para mahasiswa pascasarjana, yang rata-rata
kuliah sambil mencari sesuap nasi hingga nyaris tak ada waktu lebih untuk membaca, langsung
membentuk kelompok. Bab-bab dalam buku dibagi-bagi dan setiap orang dipaksa untuk membaca bagiannya. Lalu beberapa
hari sebelum kuliah Prof. Gunawan, kami berkumpul untuk berdiskusi mengenai isi
buku tersebut. Tidak tahu juga, apakah sebenarnya cara seperti itu dihalalkan ya? Tetapi memang kami harus cari akal untuk menjawab tugas membaca (yang selalunya buku berbahasa
Inggris) itu. Kami tak ingin malu saat menghadiri kuliah beliau.
Melengkapi informasi kiprah Prof. Gunawan sebagai arsitek, buku gunawan
tjahjono :arsitek pendidik ini pun berusaha membahas karya-karya beliau. Safitri berhasil menjelaskan
karya-karya Prof. Gunawan dengan cukup baik walaupun awalnya Safitri tidak percaya
diri untuk mengulas karena latar belakang pendidikan Safitri
adalah arsitektur lansekap:
Saya tidak
paham periode arsitektur dari masa ke masa. Menulis kritik arsitektur yang baik
dan benar pun saya tak tahu (kalau itu memang ada). Apa jadinya, jika ia membaca
tulisan kritik arsitektur saya terhadap karyanya. Membayangkannya saja, saya
minder (gunawan tjahjono: arsitek
pendidik. Hal. 158 & 159).
Akan
tetapi Prof. Gunawan berhasil membuat Safitri percaya diri. Ulasannya tentang
karya-karya arsitektur tersebut dalam Bab
22: reka-reka karakter karya, ternyata tidaklah mengecewakan saya sebagai pembaca. Arsitektur itu memang sebaiknya harus dapat dijelaskan dengan bahasa sederhana. Merunut pada kata Ghijesels, seorang arsitek zaman kolonial yang mendesain Stasiun Kota: simplicity is the shortest path to the beauty.
Prof.
Gunawan juga sosok yang bijaksana menghadapi kegalauan mahasiswa atau mantan mahasiswanya yang seperti saya ini. Teringat saat masih bertugas di TPAK, saya merasa melakukan sebuah kesalahan dengan
mengeluarkan pendapat di sidang, yang sebenarnya (setelah saya pikir-pikir
kemudian), kuranglah sesuai dengan kapasitas saya saat itu. Saya galau. Seperti
anak yang mengadu kepada bapaknya, saya pun mengirim email panjang kepada Prof.
Gunawan, sang pimpinan sidang. Tanggapan beliau sangatlah membesarkan hati
dengan mengatakan bahwa tak ada pendapat yang kurang berbobot. Lebih baik
berani menyampaikan pendapat daripada segan atau diam saja.
Begitulah. Sekarang anda paham kan mengapa kami mengagumi beliau?
Untuk membaca buku ini, saya
berusaha menyisihkan waktu untuk melakukannya dengan sungguh-sungguh. Bukan sekadar membaca. Tentu saja, jadi membutuhkan waktu lama untuk
menyelesaikannya. Tak masalah bagi saya. Saya menikmati setiap
tulisannya. Cara Safitri menjelaskan sosok Prof. Gunawan dalam buku tersebut
seperti menyuguhkan sebuah drama 3 dimensi di hadapan saya. Penggambarannya cukup detail. Ada humor juga yang diselipkan di sana-sini
membuat kita yang membacanya jadi ikut-ikutan tersenyum. Tidak monoton.
Walau
begitu, ada beberapa kekurangan buku ini yang sepertinya cukup mengganggu. Kesalahan
ketik, kesalahan ejaan penulisan, huruf kecil yang harusnya ditulis huruf besar
dan sebaliknya, serta kata-kata yang harusnya terpisah namun justru digabungkan
menjadi satu. Itu sebenarnya tanggung jawab seorang editor. Saya kurang paham, apakah mungkin Safitri juga merangkap sebagai editor karena tak ada nama editor yang (biasanya) tercantum di halaman judul buku ini.
Saya juga melihat banyak dialog antara Safitri dengan Prof. Gunawan atau tokoh lain, yang disampaikan dalam bentuk kutipan, ditulis beruntun dan tanpa ada penjelasan siapa yang berbicara. Karenanya, saya harus sedikit waspada saat membaca untuk dapat mengetahui siapa yang sedang berbicara. Tak jarang, saya berusaha mencoba merunut lagi dari atas untuk melihat siapa yang memulai dialognya.
Saya juga melihat banyak dialog antara Safitri dengan Prof. Gunawan atau tokoh lain, yang disampaikan dalam bentuk kutipan, ditulis beruntun dan tanpa ada penjelasan siapa yang berbicara. Karenanya, saya harus sedikit waspada saat membaca untuk dapat mengetahui siapa yang sedang berbicara. Tak jarang, saya berusaha mencoba merunut lagi dari atas untuk melihat siapa yang memulai dialognya.
Mungkin
isi buku akan lebih nyaman lagi untuk dibaca bila kutipan-kutipan langsung dalam buku ini dapat diolah kembali memakai kosa kata yang sesuai EYD, termasuk penambahan tanda baca yang dibutuhkan. Selama tidak mengurangi makna, sebenarnya itu bukanlah hal tabu untuk dilakukan. Setidaknya, dapat meringankan para
pembaca dalam upaya memahami pesan yang ingin disampaikan. Mungkin Safitri terinspirasi sangat dengan gaya penulisan kualitatif tesisnya. Tak apa. Sah-sah saja.
Di luar kekurangan-kekurangan tersebut, buku ini cukup berhasil menjelaskan sosok Prof. Gunawan dalam setiap lembar halamannya. Saya juga menyukai jenis kertas dan tipe huruf (font) yang dipilih. Anak saya, Ale, yang berumur 8 tahun, juga sangat senang melihat gambar-gambar dalam buku gunawan tjahjono :arsitek pendidik ini. Tak sengaja sebenarnya. Buku ini tergeletak di atas tempat tidur dan Ale iseng membukanya. Tak lama, dia asyik sendiri dengan lembaran gambar/foto hasil karya arsitektur Prof. Gunawan.
Di luar kekurangan-kekurangan tersebut, buku ini cukup berhasil menjelaskan sosok Prof. Gunawan dalam setiap lembar halamannya. Saya juga menyukai jenis kertas dan tipe huruf (font) yang dipilih. Anak saya, Ale, yang berumur 8 tahun, juga sangat senang melihat gambar-gambar dalam buku gunawan tjahjono :arsitek pendidik ini. Tak sengaja sebenarnya. Buku ini tergeletak di atas tempat tidur dan Ale iseng membukanya. Tak lama, dia asyik sendiri dengan lembaran gambar/foto hasil karya arsitektur Prof. Gunawan.
Gambar
yang disukainya adalah rumah di Jl. Paseban
(bab 18: rumah sewa paseban). Foto sebuah selasar yang disinari cahaya warna-warni dari bukaan-bukaan berbentuk kotak-kotak
tak beraturan di dinding lorong (Hal. 201). Dramatis. Namun
yang paling berkesan untuk Ale, adalah Rumah Batu (Bab 17: Rumah Batu), rumah tinggal Prof. Gunawan. Ale sangat suka dengan railing tangga rumah yang difungsikan juga sebagai rak buku (Hal. 183). Dia menuntut
bila satu saat kami mampu membangun rumah sendiri, tangganya haruslah
yang seperti itu.
Desain
rumah Prof. Gunawan memang menarik. Sederhana tetapi berkarakter. Beginilah
Safitri menjelaskan kesannya tentang Rumah Batu:
Menyatu
dengan lingkungannya. Punya rasa percaya diri yang kuat. Sedikit sombong. Satu
kasar. Kaku. Pongah. Yang lain, tidak terlalu lembut (mendekati biasa malah).
Ringan…
Bentuk
rumah terkendali, bersih, rapi, jelas, dengan garis-garis yang mudah dibaca dan
dipahami. Santai. Tetapi sopan. Tidak ada yang ditutup-tutupi (gunawan tjahjono: arsitek pendidik. Hal. 182).
Terkesan ada nilai-nilai yang kontradiktif dalam desain Rumah Batu. Seperti ada karakter yang saling berlawanan. Yin dan Yang. Dan beliau jujur mengenai hal itu saat menjelaskan konsep rumah tersebut:
Saya yakin
dalam diri manusia selalu ada pertentangan dua sifat (alami) yang tak kunjung
selesai. Pertentangan antara dua sifat tersebut dapat mengutub dan bila hal ini
terjadi ia akan membawa konflik. Namun mereka berdua dapat saling bertemu dan
mencari jalan untuk mengisi. (gunawan
tjahjono: arsitek pendidik. Hal. 178).
Itulah Prof. Gunawan. Pribadi yang meninggalkan banyak kesan di hati kami, yang pernah menjadi
mahasiswa beliau. Seorang inspirator. Membuat saya berangan-angan, bila satu saat alam
semesta mengizinkan saya berprofesi sebagai dosen, saya ingin menjadi guru
seperti beliau. Bukan hanya sekadar mengajar. Namun juga menjadi seorang
pendidik. Pengampu. Fasilitator.
Dan seperti pertanyaan Safitri kepada Prof. Gunawan: mengapa menjadikan Pak Soewondo sebagai dosen favorit masa beliau kuliah dahulu, dan dijawab karena Pak Soewondo itu punya karisma…(Hal. 110), maka seperti itu jugalah jawaban kami bila ada yang bertanya: mengapa begitu terinspirasi oleh Prof. Gunawan?
Dan seperti pertanyaan Safitri kepada Prof. Gunawan: mengapa menjadikan Pak Soewondo sebagai dosen favorit masa beliau kuliah dahulu, dan dijawab karena Pak Soewondo itu punya karisma…(Hal. 110), maka seperti itu jugalah jawaban kami bila ada yang bertanya: mengapa begitu terinspirasi oleh Prof. Gunawan?
Kami pasti akan menjawab sama.
:karena Prof. Gunawan mempunyai karisma.
werdhapura sanur
tujuh
mei dua ribu lima belas
Comments