menyambut (tidak) dengan hati
Mendadak, semua orang sibuk luar
biasa. Mondar-mandir memperbaiki situasi dan kondisi yang ada. Mungkin bila
jalan raya di depan kantor ini bisa dipel, saya rasa mereka dengan senang hati
akan menyapu dan mengepel jalanan tersebut. Satu saja penyebabnya. Pejabat yang
wewenangnya paling besar di daerah saya akan datang berkunjung.
Saya memilih untuk tak bergabung.
Bukan cuma karena tak tertarik. Tetapi posisi saya yang “nyaris tak terlihat”
ini juga tak memaksa saya untuk ikut dalam barisan penyambutan yang berisi wajah-wajah bersemangat dengan lingkaran cahaya di atas kepala!
Saya tak punya niat untuk menyalahkan
siapa-siapa perihal prosesi kehebohan yang ditampilkan. Yang saya pertanyakan,
mengapa kita harus punya tradisi seperti itu? Sibuk membuat make-up di sana
sini hanya demi memuaskan mata para tamu kehormatan yang datang berkunjung.
Sibuk menampilkan diri sebagai penggemar dengan tatapan mata
berbinar-binar dan senyum yang tak pernah lekang. Untuk apa?
Saya curiga, para pemimpin kita
sebenarnya punya rasa dahaga akan pengakuan sebagai orang
yang dicintai dan dihormati. Tidak salah, tentunya. Yang jadi masalah adalah,
sebatas mana para pemimpin mampu memaknai kepuasan mereka akan pengakuan itu dan
bagaimana sang anak buah memanifestasikan jawaban yang dicari sang pemimping dalam
tindak tanduk mereka.
Ini berbicara tentang kebiasaan. Tradisi
dalam masyakarat. Bila berbicara tentang tradisi, semua orang juga sudah
mengamini kalau nenek moyang kita memiliki segudang kebiasaan luar biasa dalam
menyambut tamu. Kebudayaan di Nusantara memang tak main-main bila menyambut tamu
kehormatan. Apakah anda tahu bila ada salah satu suku Dayak yang khusus
menghias sampan tamu kehormatan dengan janur dan bendera adat, lengkap dengan sepasang
penari dan para penabuh alat musik yg tak henti bermain menghibur sang tamu
selama perahu berlayar di sungai? Atau sebut tradisi Melayu yang selalu menyuguhkan sirih kepada tamu untuk dicicipi sebagai ungkapan persahabatan, sukacita dan penghormatan...
Sepertinya, semua tradisi di
negeri ini menyimpan semangat yang begitu luar biasa dalam upacara penyambutan
tamu. Jadi tak heran, bila semangat itu ternyata masih berurat akar pada
masyarakat kita. Hanya yang membedakannya dengan masa kini adalah makna di
balik penyambutan itu. Mungkin pada zaman raja-raja dahulu, ada makna ketulusan
di balik prosesi penyambutan yang luar biasa heboh itu. Konsep "tamu adalah keluarga dekat yang harus dihormati" itu menjadi latar belakangnya. Ukuran kebahagiaan pun lalu
terdefinisikan bila sang tamu puas, nyaman dan merasa diterima. Ini baru namanya menyambut dengan hati.
Zaman sekarang? Saya tidak yakin
bila makna itu yang menjadi latar belakang penyambutan para tamu, khususnya bila
ada pejabat-pejabat yang berkenan meringankan langkahnya untuk berkunjung ke
suatu tempat. Antusiasme yang diperlihatkan terasa palsu karena (mungkin) tidak
dari hati. Ada hawa ketidakjujuran yang tercium saat lingkungan kantor seketika disulap bersih, PKL diusir dan para pengemis dipindahkan (sementara). Ini sekedar menciptakan citra “keindahan” yang (diharapkan) akan
menyenangkan hati sang tamu. Bila tamu puas, tentunya
nama pihak penyambut juga yang akan harum semerbak. Syukur-syukur bila momen
ini (nantinya) ternyata dapat memberikan keuntungan tertentu bagi mereka.
Sebaiknya, para tamu alias bapak-ibu pejabat itu mulai berpikir. Apakah suasana yang (mendadak) bersih dan damai, tepuk tangan keras nan panjang
serta pekikan yel-yel yang begitu bersemangatnya itu, dapat dijadikan indikator
penghormatan dan rasa cinta pada mereka? Semestinya, bila sang tamu mempunyai tingkat kesadaran sedikit di atas rata-rata, mereka akan paham bahwa penyambutan yang terlalu
berlebihan itu harusnya dipertanyakan. K e n a p a ?
Comments