setumpuk masalah di pintu tol jatibening
Memulai pagi ini, saya sudah
mendapat banyak kiriman berita tentang pintu Tol Jatibening yang ditutup oleh
masyarakat sekitar yang berdemo.
Baiklah, harus segera putar otak mencari jalan
alternatif supaya bisa tiba di kantor tepat waktu. Mengingat kantor yang jaraknya
memakai satuan cahaya dari rumah saya, agak sedikit pesimis sebenarnya saya.
Tapi tidak ada pilihan lain. Mari, berputar melalui Tol JORR.
Tol Jatibening ini memang punya
masalah sedari dulu. Adanya terminal bayangan di pintu ini nyata-nyata membuat
semrawut dan kacau lalu-lintas di sekitarnya. Saya sendiri tidak terlalu paham
sejarahnya mengapa kok bisa-bisanya ada perhentian bus di jalur tol.
Walaupun
sebenarnya, bisa dibilang modelnya mirip dengan rest area tapi jalur bus atau
angkutan kota yang keluar masuk dari sini cukup menghalangi mobil-mobil yang
masuk lewat pintu Tol Jatibening. Tidak sulit pastinya membayangkan
bagaimana cara supir bus, metromini atau kopaja itu menyetir. Perebutan ruang hampir
selalu terjadi di area ini.
Akses masuk ke terminal bayangan
ini juga agak mengerikan. Curam dan hanya berlantai tanah. Jadilah kalau hujan,
orang-orang harus berjalan ekstra hati-hati kalau tidak mau terguling-guling ke
bawah dengan suksesnya. Tanpa ada peneduh, mereka harus berdiri di area
tersebut dan menghirup segala racun polusi kendaraan. Nyaman? Tentu tidak! Saya
yakin, kalau kita buat survey, pasti hasilnya sebagian besar masyarakat
pengguna terminal bayangan ini akan memaki-maki dengan kesadaran penuh karena ketidaknyamanan
mereka. Tetapi karena tidak punya pilihan, akhirnya yang pahit dan beracun itu
pun mau tak mau harus ditelan. Inilah piawaian manusia beradaptasi dengan
lingkungan.
Ada simbiosis mutualisme di sini.
Terminal bayangan ini memang menjadi andalan pendapatan para tukang ojek dan
supir bus. Di sisi lain, calon penumpang juga terbantu karena tidak harus
bersusah payah ke Kali Malang yang sudah terkenal sebagai jalan termacet
se-Indonesia Raya saat pagi dan sore hari. Belum lagi, pengusaha warung yang kemudian muncul di sekitar area ini. Jadilah area di pintu Tol Jatibening ini bisa dibilang masuk kategori semrawut dan tak aman karena besarnya resiko kecelakaan. Tentu saja, rencana penutupan
terminal bayangan ini segera saja membuat kelompok-kelompok ini menjadi resah
dan gelisah.
Tahun lalu, ada pelaksanaan renovasi
di pintu Tol Jatibening, termasuk perubahan ruas jalannya. Saya sedikit
bersyukur awalnya. Setidaknya pengelola tol ini punya hati untuk menciptakan
ruang yang lebih manusiawi. Ini kesempatan untuk memperbaiki kondisi di atas. Saya
perhatikan bagaimana mereka menambah pintu tol, membuat area hijau, membangun lambang
Jasamarga yang cukup mencolok mata. Tapi tak urung saya bertanya-tanya juga
setiap lewat di sana. Di mana area dan jalur untuk angkutan umum yang akan mampir
dan menjemput penumpang? Di mana para penumpang itu akan menunggu? Mengapa yang
awalnya jalur mobil malah ditinggikan dan ditanami rumput?
Saya curiga. Sepertinya tidak ada
desain di sana yang mengakomodir kebutuhan pengguna terminal bayangan. Benar
saja, ternyata setelah renovasi rampung dilaksanakan, kondisinya (menurut saya)
justru jauh lebih parah dari kondisi awal. Orang-orang dibiarkan dengan kejamnya
menunggu bus di pinggir jalan tol! Area tunggu mereka, saat sebelum renovasi,
dijadikan tempat penyimpanan mobil derek plus mobil bekas tabrakan atau yaaah…kira-kira
tampaknya seperti itu lah. Lalu terpasanglah besar-besar spanduk besar
bertuliskan UU yang mengatur larangan kendaraan menaik-turunkan penumpang di
jalan tol. Ok, saya mulai bisa membaca
situasi di sini.
Sesuai aturan, memang sebenarnya
tidak boleh ada terminal bayangan di jalan tol. UU Nomor 38/2004 Pasal 56 menetapkan larangan
setiap orang memasuki jalan tol, kecuali pengguna jalan tol dan petugas
terkait. Lalu, PP 15/2005 Pasal 41 melarang kegiatan menaikturunkan penumpang di
jalur/bahu/gerbang tol.
Tapi pertanyaannya, bila memang
tidak boleh, mengapa dari awal dibiarkan? Pembiaran itu memang jadi masalah
klise di negara ini. Konflik tanah sampai akhirnya gusur-menggusur itu awalnya
juga karena hal yang sama. Mengapa peristiwanya selalu berulang? Apakah pihak-pihak berwenang di negeri ini tak mampu belajar dari kesalahan yang pernah ada
dan membuat evaluasinya? Bila ada suatu konflik yang terjadi, seharusnya itu
diselesaikan dengan solusi. Bukan dengan sekedar melarang tapi tanpa pemberian alternatif
penyelesaian.
Pernah satu kejadian, yang
menurut saya benar-benar seperti dagelan. Para petugas polisi diturunkan di
sekitar area ini. Dengan membawa senjata api laras panjang, mereka membuat
pagar betis sejauh kira-kira 1 kilometer, sengaja menghalangi bus-bus itu berhenti
dan menaikkan penumpang. Kemana orang-orang? Sebagian memutuskan kembali dengan
muka masam dan sebagian lagi bertahan menunggu bus di beberapa ratus meter dari
ujung pagar betis polisi tersebut. Ada-ada saja kan akal manusia? Yang
kocaknya, itu hanya berlangsung 1 hari saja. Besoknya, semua kembali normal dan
berjalan seperti biasa!
Ayolah, bila ingin menyelesaikan
suatu permasalahan, harus ada penawaran solusi. Apa yang bisa ditawarkan
Jasamarga untuk mengatasi konflik ini? Seharusnya dulu saat renovasi dilakukan,
kondisi ini harusnya bisa diprediksi sehingga bisa dicari desain ruang untuk
menyelesaikannya.
Membuat ruang baru seperti island di sekitar area Tol Jatibening
sepertinya bisa dilaksanakan. Tidak memakan ruang banyak, hanya dengan lebar
5-6 meter untuk antrian bus masuk yang datang dari arah Bekasi. Pengguna dipersilakan
melewati jembatan penyeberangan beratap, sehingga tak mengganggu akses mobil
yang masuk tol. Pagar saja semua akses, sehingga orang-orang mau tak mau dipaksa
naik jembatan penyeberangan dan menunggu di situ. Aman dari hujan dan panas. Sediakan area khusus untuk ojek. Tata kembali warung-warung yang berdiri di pinggir-pinggir jalan itu.
Atau bila memang pengelola tol tak sanggup membuat solusi dengan alasan berbagai rupa, silakan saja buat sanksi untuk yang melanggar. Sanksi tegas dan jelas dengan sosialiasi di awalnya. Berani?
Mari berpikir win-win solution
untuk masyarakat. Mereka bukanlah pihak yang tidak punya bargaining power untuk memaksakan keinginan mereka. Tidak percaya?
Lihat saja buktinya pagi ini!
(Sumber foto: metro vivanews.com)
Comments