macet oh...macet!
Pagi, saat melintas di jalan tol dalam kota cawang-grogol, saya melihat sebuah baligo superbesar terpampang memenuhi pemandangan. Sebuah iklan, mungkin, dengan gambar jalan layang di Kota Jakarta. Tapi yang membuat saya jadi bingung saat saya membaca tulisan di baligo tersebut: “Kemacetan pasti terurai. Akan segera dibangun 8 jalan layang.” Duh, siapa yang memesan iklan itu dan apa yang ada di dalam pikiran mereka saat membuat tulisan itu?
Banyak memang opini perihal
kemacetan di Jakarta. Seperti
kutipan kalimat berita di liputan6.com: “Jakarta sudah identik dengan
kemacetan. Siapa pun yang menjadi gubernur, nampaknya problematika kemacetan
akan terus jadi pekerjaan rumah yang tak kunjung terselesaikan. Biang keladinya
mudah dicari, yaitu jumlah kendaraan yang terus meningkat tak diimbangi dengan
penambahan ruas jalan raya…”
Memang menurut logika, kurangnya
jalan bisa dituduh sebagai salah satu penyebab kemacetan di Jakarta. Tapi
pertanyaannya, apakah dengan menambah jalan, lalu masalah kemacetan, yang sudah
seperti benang kusut, itu bisa teratasi? Ok, mari bicara fakta.
Menurut data Polda Metro Jaya, jumlah
kendaraan di Jakarta berjumlah sekitar 11,4 juta unit, terdiri dari 8,2 juta
unit sepeda motor dan 3,1 juta unit mobil. Dari jumlah itu, 98% merupakan kendaraan
pribadi sedangkan sisanya 2% kendaraan umum. Tak mengherankan persentase
kendaraan pribadi di Jakarta cukup fantastis mengingat data Dinas Perhubungan
DKI Jakarta menyebutkan bahwa pertambahan jumlah kendaraan pribadi di Jakarta
mencapai 1.117 per hari atau sekitar 9% per tahun. Sementara di lain sisi, panjang
jalan di Jakarta hanyalah 7.650 km dengan pertumbuhan luas jalan sekitar 0,01
persen per tahun. Bayangkan, perbandingan jumlah kendaraan : jalan adalah 9 : 0,01!
Mari sedikit ber-matematika-ria.
Anggaplah laju saat ini konstan. Dengan hitung-hitungan seperti itu, berarti logikanya,
dibutuhkan waktu 900 tahun untuk berhasil membangun panjang jalan yang memadai
di Jakarta sehingga mampu menampung jumlah kendaraan yang juga terus bertambah.
Please correct me if I was wrong but I think this is an impossible number!
Bagi saya, jargon-jargon seperti
ini jelas-jelas penipuan publik. Sejak kapan pembangunan jalan bisa jadi solusi
kemacetan? Pantas, masalah kemacetan di Kota Jakarta ini makin hari makin ruwet
seperti benang kusut, seperti tak pernah terselesaikan. Semuanya dimulai dengan
konsep yang salah!
Ibarat keran air, semakin besar
keran itu dibuka maka akan semakin besar debit air yang mengalir. Dengan kata
lain, semakin banyak jalan yang dibuka, maka semakin banyak juga debit
kendaraan yang melewatinya. Semakin banyak jalan yang dibuat, berarti semakin
mudah juga kendaraan-kendaraan dari berbagai penjuru mengakses Kota Jakarta. Apalagi
mengingat jumlah penduduk Kota Jakarta di siang hari yang sebagian besar justru
komuter (seperti saya). Akan semakin berbahagialah rasa hati saya dan semua
tetangga saya di Bekasi saat membawa mobil pulang pergi, karena banyaknya kemudahan yang diberikan oleh Pemprov
DKI untuk mengakses jalan-jalan di Jakarta! Berarti kasarnya, pembangunan jalan
layang (tol atau non tol) itu dapat dikatakan adalah cara halus Pemprov DKI
untuk mengundang lebih banyak mobil lagi masuk ke Kota Jakarta. What an ironic,
isn’t it?
Untuk saya, salah satu cara
penyelesaian di antara bebarapa solusi kemacetan yang wajib dilakukan adalah
pembangunan transportasi umum massal yang komprehensif dan manusiawi serta
perbaikan budaya berlalu-lintas, tentunya. Itu tidak bisa ditawar-tawar lagi! Kini,
semua pihak sibuk membicarakan tentang MRT (Mass Rapid Transportation) yang
(katanya) akan selesai dibangun akhir tahun 2016 karena adanya ketakutan di tahun 2014 nanti, kendaraan di Jakarta tidak akan
bisa bergerak sama sekali.
Sebenarnya, berapa lama waktu
yang dibutuhkan untuk membangun MRT di kota ini? 10 tahun? 20 tahun? Andai
saja, MRT ini sudah direncanakan dan mulai dilaksanakan pada periode pertama
masa pemerintahan Gubernur Sutiyoso (15 tahun yang lalu), saya rasa saat ini
saya sudah bisa duduk tenang menikmati perjalanan saya di Jakarta dengan MRT.
Tak perlu takut kecopetan atau berdesak-desakan. Naik-turun kendaraan dengan tenang, tanpa
harus memikirkan kaki mana yang mesti dilangkahkan lebih dahulu kalau tidak mau wajah kita mencium aspal!
Informasi terbaru menyebutkan,
saat ini ada gugatan di Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat tertanggal
31 Januari 2012 kepada pemerintah pusat dan daerah DKI Jakarta karena dianggap
tidak mampu menyelesaikan masalah kemacetan di Kota Jakarta. Dalam gugatan
tersebut, pihak yang digugat adalah Pemerintah DKI Jakarta sebagai Tergugat I,
DPRD DKI Jakarta selaku Tergugat II, dan Presiden RI selaku Tergugat III.
Selain itu, sepuluh partai politik yang memiliki wakil rakyat di legislatif dilibatkan
sebagai para Turut Tergugat. Mereka dianggap melakukan Perbuatan Melawan
Hukum karena memiliki otoritas penuh namun tidak mengeluarkan satu kebijakan
yang dapat mengatasi kemacetan di Jakarta dengan segera sehingga merugikan
hak-hak asasi warga negara dalam menggunakan fasilitas umum.
Kenyataan pahit yang harus
ditelan oleh Kota Jakarta, yang kini berulangtahun ke-485. Kota yang semakin terlihat gemerlap dengan pertumbuhan high rise building-nya tetapi di satu sisi, menyimpan banyak kerut kegagalan. Jakarta, semakin tua, semakin
tak tertata...
Comments